Mohon tunggu...
Faizal Chandra
Faizal Chandra Mohon Tunggu... Relawan - Guru Matematika

terus belajar dan terus belajar untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Editor Waktu (Bagian 1)

19 Maret 2018   10:17 Diperbarui: 19 Maret 2018   10:17 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://cdn2.tstatic.net

"Wuis.. cerpen baru Wi?" tanya Sandy teman sebangku Wijaya.

"Oh.. bukan, iseng-iseng saja aku membawa cerpen lamaku, ini cerpen yang ku tulis kelas sebelas dulu.." jawab Wijaya sambil memegang lembaran cerpen dengan Judul 'Restauran beracun' Wijaya dan Sandy adalah siswa kelas 12 SMA Tarumajaya Malang. Wijaya adalah pemuda dengan Imajinasi tinggi dan produktif dalam menghasilkan karya-karya tulis fiksi.

"Siapa sangka, perasaan baru kemarin MOS-nya eh sekarang sudah kelas tiga, mana sebentar lagi UN, belum lagi ujian masuk Universitas, haduuh.."

"Halah tak usah dipikir, buat apa mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi, fokus saja dengan apa yang bisa kita lakukan sekarang."

"Hm.. benar juga, ya udah Wi.. ke kantin yuk.. lapar nih.." ajak Sandy. Mereka berdua pun menuruni tangga kelas dan menuju kantin, suasana kantin begitu ramai, walau belum bel istirahat namun kantin telah penuh oleh siswa-siswi yang baru selesai olahraga.

Saat di depan kantin, Wijaya tiba-tiba berhenti sambil memandangi seseorang dari jauh.

"Heh.. Wi.. sedang apa kau? kau lihat apa sih?" tanya Sandy membuyarkan lamunan Wijaya.

"Ah bukan apa-apa.."

"Hayo... lagi lihat siapa? Yang mana wi... kelas sepuluh kah?"

"Sudah diam kau! aku hanya kaget melihat cewek itu.." kata Wijaya sambil menunjuk siswi berambut pendek memakai baju sepak bola warna dominan merah dan celana pendek yang nampak baru saja berolahraga.

"Oh si Ria? Kau tertarik ya?"

"Tu.. tunggu? siapa namanya tadi?" pertanyaan Wijaya memburu.

"Ria, dia anak kelas sepuluh, juniorku di tim basket. Cewek itu agak tomboi, walau tubuhnya kecil tapi skill basketnya bagus loh.."

"Tim basket katamu? Ria? Oh ya Tuhan.." Wijaya sempat terkejut sejenak, "Ah tidak-tidak, ini pasti kebetulan."

"Kenapa Wi memangnya? Cerita dong, kenapa kau kaget begitu?"

"Nih.." Wijaya memberikan lembaran cerpen kusam yang ia bawa ke kantin pada Sandy. "baca paragraf ini.."

"Eh.. ini?"

"Gila kan? Ini yang membuatku begitu terkejut, aku nulis karakter unik dalam cerpen tersebut, seorang gadis bernama Riana, ciri fisiknya bertubuh kecil, berambut pendek, terus sifatnya agak tomboi dan dia pemain basket wanita di sebuah SMA di Kota Malang."

"wih, loh.. kok mirip banget ya sama si Ria?"

"Mana ku tahu? Yang pasti ini kebetulan. Aku saja nulis cerpen ini setahun yang lalu, artinya sebelum cewek itu sekolah di sini kan"

"Iya sih kebetulan, tapi kenapa bisa segitu akurat wi? kau bisa meramal ya?"

"Meramal jidatmu, sudah deh hal itu tak masuk akal, kita orang IPA, kita percaya dengan data dan fakta, bukan mitos-mitos yang tidak jelas seperti itu."

"Ya sudah deh mending kita makan aja, cerpenya aku bawa dulu wi, pengen ku baca." mereka berdua pun membeli nasi di kantin tersebut.

Berbulan-bulan kemudian setelah mereka membicarakan perihal cerpen yang ditulis Wijaya, Wijaya mulai menulis beberapa cerita pendek bergenre komedi. Ia mulai mencoba mengirimnya ke beberapa penerbit, dan hasilnya kini dia mulai menjadi penulis bulanan majalah remaja di kota Malang. Di suatu pagi, Wijaya sedang mengedit cerpen yang akan dia kirimkan bulan depan. Tiba-tiba Sandy berlari dari luar kelas, "Wi! gila!" teriaknya.

"Duh apa sih bikin kaget orang saja?!"

"Kau sudah dengar tidak? Si Ria.."

"Ria? Oh cewek unik itu, kenapa?" tanya Wijaya.

"Kemarin engkel kakinya cedera saat turnamen basket DBL, sekarang dia di rumah sakit."

"Hah? Jangan bercanda, mana mungkin!"

"Iya kan, masalahnya kejadian ini benar-benar mirip dengan yang kau tulis di ceritamu kan?"

"Oke ini benar-benar gila, oke cukup, aku jadi merasa bersalah nulis cerita ini." ujar Wijaya.

"Kenapa merasa bersalah, kejadian ini terjadi bukan karena kau menulis cerita itu, justru kau punya kemampuan untuk menulis kejadian yang akan terjadi."

"Hahaha cukup san, aku orangnya rasional, aku tidak percaya ramalan. Ini hanya sebuah kebetulan." Wijaya tetap skeptis.

"Ya sudah terserah kau percaya atau tidak. Tapi ingat, tak ada yang kebetulan di dunia ini, kebetulan adalah cara Tuhan agar tetap anonymous." sergah Sandy.

"Kenapa kau tidak masuk filsafat saja, atau masuk Ilmu Sosial mungkin."

"Itu kata-kata albert Einstein tahu."

"Terserah."

-Bertahun-tahun kemudian, tepatnya 2019, Wijaya melanjutkan studi di sebuah Universitas di kota Malang, dia mengambil studi Mikrobiologi pertanian. Untuk menambah uang bulanannya, ia tetap menjadi penulis cerita pendek untuk berbagai majalah, bahkan majalah Nasional, kebanyakan ceritanya mengangkat kisah-kisah thriller pendek dan juga kisah kisah komedi. Namun bakatnya semakin lama semakin menghantuinya, semakin banyak cerita pendeknya yang menjadi kenyataan dengan keidentikan yang amat rinci. Berbagai tragedi mengerikan yang terjadi telah diprediksi dalam tulisan-tulisannya.

28 oktober, dia menulis cerita tragedi yang dimuat di majalah, cerita berjudul 'Faced the Truth' menceritakan bagaimana seorang pemuda mencoba belajar dari depresi masa lalu untuk membantu orang lain. Dalam cerita tersebut dikisahkan seorang pemuda yang mengalami trauma akibat sahabat satu-satunya bunuh diri dengan melompat dari atas gedung fakultas teknik sebuah Universitas. Satu bulan setelah ceritanya mendapat nominasi cerpen terbaik tahun 2019, sebuah tragedi terjadi di Universitas tempat Wijaya belajar, seorang Mahasiswa teknik komputer bunuh diri dengan melompat dari atap gedung fakultas teknik. Semua rincian kejadian begitu identik dengan cerita yang ditulis oleh Wijaya.

12 November Wijaya menulis cerita tentang seorang remaja SMA yang menjadi juara olimpiade Astronomi dari Kota malang, pemuda itu dikisahkan memiliki latar belakang keluarga yang kurang harmonis, namun gurunya menjadi inspirasi hidup bagi siswa tersebut. Cerita pendek tersebut telah selesai ia tulis dan hendak ia kirim ke penerbit. Namun rencananya ia batalkan, karena di hari yang sama dia mengirim cerpen tersebut, di koran Kota Malang tertulis berita tentang Siswa SMA Tarumajaya yang memenangkan medali emas Olimpiade Astronomi tingkat Nasional. Dalam berita tersebut juga diulas cerita sedih keluarganya dan apa yang memotivasi siswa tersebut.

Yang mencengangkan, bahwa Umur, nama, bahkan nama keluarga siswa tersebut sama persis dengan yang ada dalam cerpen yang Wijaya tulis tiga hari sebelum berita tersebut dimuat. Tak hanya itu, banyak peristiwa lain yang telah terprediksi dalam bentuk cerpen yang ditulis oleh Wijaya, kebakaran Hutan, gempa bumi, kematian teman, bahkan terungkapnya kasus terdakwa yang dihukum 15 tahun penjara dan terbukti tidak bersalah, semua telah ia tulis dalam cerpen-cerpenya.

"Halo.. Wi, ini aku Sandy, nanti sore aku main ke kontrakanmu ya.." Sandy menelepon.

"Oke, ada yang ingin aku bicarakan juga denganmu San.."

"Sip deh.."

"Aku tunggu.." Wijaya menutup teleponnya.

Hari itu Wijaya sedang libur kuliah dan dia menghabiskan harinya di perpustakaan kota untuk mencari inspirasi, beberapa hari lagi adalah deadline cerpen dari majalah dimana dia telah menjadi penulis tetap di sana. Namun sampai hari itu dia belum juga menemukan ide untuk memulai cerita baru. Seharian ia habiskan untuk membaca novel-novel klasik dan beberapa buku-buku teori ilmiah. Saat pukul empat Sore, Wijaya pulang dari perpustakaan kota karena ingat dia punya janji dengan Sandy. Pukul 5 sore, seseorang mengetuk pintu rumah kontrakan yang ditempati Wijaya. "yo.. masuk.." Wijaya membuka pintu dan mempersilakan temanya masuk.

"Maaf lama. Aku beli buku di Toko buku tadi, sulit banget mencarinya makanya lama haha.." ujar Sandy, setelah dipersilakan masuk.

"Hahaha santai saja.."

"Wi.. kenapa beberapa bulan ini kau tidak menulis cerpen? Bukannya kau sudah jadi penulis tetap di Majalah itu?" tanya Sandy.

"Haha, aku lama-lama bisa gila san. Aku memutuskan untuk berhenti menulis kemarin, tapi editor dan pihak majalah ngeyel menyuruhku tetap jadi penulis mereka."

"gila kenapa? Justru kau gila jika kau memutuskan untuk berhenti menulis, bukannya menulis udah menjadi bagian dari hidupmu Wi? memang apa alasanmu?" pertanyaan Sandy memburu.

"Sepertinya walau kau tidak bertanya pun kau juga sudah tahu. Kau selalu baca tiap cerpenku kan? dan kau juga pasti melihat berita berita di koran Malang. Koran dan media informasi lain sering kali memuat berita yang identik dengan kisah dalam cerpen yang ku tulis sebelumnya. Kau tahu kalau cerpenku banyak yang sedih bahkan tragis, dan semua cerpenku identik dengan peristiwa-peristiwa itu, aku tahu ini sama sekali tidak masuk akal, tapi aku jadi merasa bersalah, seolah-olah semua terjadi gara-gara aku menulis cerita-cerita pendek itu San.."

"Bahkan sampai sekarang kau masih skeptis dengan kelebihanmu itu? Dan kau masih menganggap ini kebetulan?"

"Bukan tidak percaya, aku hanya merasa gila, bingung aku menjelaskannya San. Ini bukan kelebihan, ini kutukan!" sentak Wijaya.

"Kau bisa memprediksi masa depan lewat tulisan-tulisan fiksimu, dan itu bukan kebetulan, sudah berapa kali kebetulan itu terjadi, kebetulan yang selalu berulang terus menerus bukan kebetulan lagi namanya, Tuhan pasti punya alasan kenapa memberimu kemampuan seperti itu."

"Iya iya, tapi akal sehatku susah menerima hal hal seperti itu. aku jadi merasa takut untuk menulis lagi, aku takut apa yang akan ku tulis akan menjadi kenyataan. Ini semua bertentangan dengan logika murni yang selalu jadi prioritasku dalam memecahkan berbagai persoalan hidupku, bukan meramal-ramal begini." Wijaya duduk lemas di sofa ruang tamunya yang dipenuhi kertas-kertas kerjanya yang bercampur aduk antara cerpen dan tugas-tugas kuliahnya.

Sandy mengeluarkan buku yang masih bersegel dari dalam tasnya. "coba tebak buku apa yang aku cari di Toko tadi? Nih.." dia menyodorkan sebuah Novel terjemahan berjudul Futility (wreck of the Titan). "jangan mikir yang aneh-aneh dulu, baca saja ceritanya, siapa tahu bisa memberimu inspirasi untuk menulis cerpen baru, aku tahu kau sedang dikejar-kejar deadline kalau kau masih mau bekerja jadi penulis majalah itu.." Wijaya mengambil novel itu dari Sandy.

"Iya sih, soalnya aku juga tidak bisa menolak permintaan mereka yang begitu memburu, dan berhubung aku juga butuh uang tambahan jadi aku mau untuk tetap menjadi penulis mereka." Wijaya membuka segel plastik novel tersebut dan mulai membuka-buka isi novel tersebut. "Futility (Wreck Of the Titan), ini novel klasik ya? Kenapa kau beli ini?"

"Sudah baca saja nanti, semoga kau bisa dapat inspirasi. Kalau sudah kau baca akan ku beritahu sesuatu yang menarik." ujar Sandy.

"Iya malam ini juga akan ku habiskan novel ini. Dan tolong jangan membicarakan sesuatu yang membangkitkan rasa penasaran..." Setelah berbincang-bincang lumayan lama, Sandy pun pulang.

Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam, Wijaya membuat secangkir kopi dan mulai membaca Novel tersebut. Wijaya begitu menikmati cerita tersebut hingga tak sadar telah menamatkan bacaan tebal tersebut pada pukul 11. Tiba-tiba dia dapat ide untuk mulai menulis cerita, walau cerita yang ia tulis jauh berbeda dengan Novel yang ia baca, menurut Wijaya, Novel itu punya cara yang inspiratif baginya untuk membangun sebuah alur cerita. Besoknya, sore hari Wijaya mendatangi Rumah Sandy untuk mengembalikkan Novel tersebut dan mampir untuk bermain sebentar.

"Nih San, sudah ku tamatkan. Bagus banget ceritanya, tapi kenapa cerita novel ini benar-benar persis dengan Tragedi Titanic sih? Apa novel ini diangkat dari kisah tenggelamnya kapal Titanic? Aku belajar membuat alur cerita yang bagus dari novel yang kau pinjamkan ini, ya walaupun itu novel dan yang ku tulis hanya cerpen sih haha" Wijaya mengambil secangkir teh hangat yang dibuat oleh Sandy.

"Hahaha wi..wi, sejarahmu dapat berapa sih dulu? Ini yang justru ingin ku bahas denganmu."

"Apa? Novel ini?" tanya Wijaya.

"Tadi kau bilang novel Futility ini mungkin diangkat dari kisah Titanic bukan?"

"Iyalah, sudah sangat jelas ceritanya pun juga persis."

"Tapi kau tahu tidak, kalau Tragedi titanic itu terjadi tahun 1912, sementara Novel itu terbitan tahun 1892, novel itu ditulis bertahun-tahun sebelum Titanic berlayar."

"hah? Mana mungkin. Kok bisa? Ceritanya..." sahut Wijaya, "apa maksudmu penulis ini bisa memprediksi masa depan lewat karya tulisnya?"

"Kalau tetap tidak percaya lihat di wikipedia sana. Iya, aku yakin kau punya kemampuan yang sama dengan Morgan Robertson, si penulis novel Futility ini. Tapi aku tidak bisa bilang 100 % yakin dia punya kemampuan sepertimu, tapi selain novel ini, dia juga pernah menulis sebuah cerpen yang mengisahkan tentang serangan tiba-tiba jepang ke Amerika dalam perang dunia, dan cerita itu ditulis jauh sebelum peristiwa pearl hairboar terjadi. Kebetulan?"

"Entahlah. Jadi ini benar-benar nyata? Tapi bagaimana bisa? kenapa imajinasiku menjadi nyata?" Wijaya bingung

-Aliffiandika-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun