Mohon tunggu...
Faisal yamin
Faisal yamin Mohon Tunggu... Nelayan - Belajar menulis

Seorang gelandangan pikir yang hobi baca tulisan orang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Pernyataan yang Menghentak

8 Juli 2021   19:41 Diperbarui: 8 Juli 2021   19:45 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, dok/Unsplash

"Kak, tunggu aku di kedai rindu tepat pukul 21:00Wit."

Begitulah isi sebuah pesan yang mendarat di whatsAppku. Aku langsung di buat bingung, karena tidak pernah membuat janji dengan sesiapapun sebelumnya. Terlebih, pesan itu dari nomor yang tak dikenal. Sejurus kemudian aku layangkan sebuah pesan ke nomor tersebut.

"Maaf dengan siapa sebelumnya?"

Tidak butuh waktu lama, dengan cepat pesan itu di baca olehnya. Aku menunggu balasanya dengan gelagat pikir yang penuh tanya. Beberapa menit kemudian, balasan darinya belum kunjung datang. Aku mulai menerkan dengan serbuat pernyataan sinis. "Ah, mungkin ini ulah teman-teman yang coba mengusiliku." Aku membuat kesimpulan.

Sesaat ketika hendak masuk mengambil buku bacaan, handphoneku tiba-tiba memekik. Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal tadi mendarat. Dengan penasaran yang mengganjal, secepatnya aku buka pesan tersebut.

"Azzahra kak. Tunggu aku ya tepat pukul 21:00 wit di kedai rindu."

Mataku langsung terbelalak membaca pesan itu. Spontan, jantungku berdetak kencang, lalu rasa haru dan bahagian ikut mengendus jiwaku. Seperti sapuan angin pagi yang serabutan masuk di selah ranting dan dedaun nyiur di bibir pantai.

Aku seakan tidak percaya dengan apa yang aku baca. Bagiku ini seperti mimpi yang menguyur tidurku. Namun kebahagian kian meninggi, membuat imajinasiku tidak mempu melahirkan sebuah tanya.

"Bertahun-tahun nanti mengendap dalam tanya, akhirnya sebentar terjawab." Gumaku dengan bahagia yang kini memasung jiwaku.
                                  ***
Aku tiba di kedai rindu tepat pukul 20:45 Wit. Lalu duduk di pojok kiri tepat menghadap pintu masuk. Aku memilih tempat itu agar bisa melihatnya dari jauh ketika dia masuk ke sini, juga agar dia dengan cepat mengenali tanpa harus mencari-cari wujudku.

"Pesan apa mas?" Ucap seorang pelayan menghampiriku.

"Sebentar ya mbak, aku lagi nunggu orang. Jika sudah datang nanti kami pesan." Jawabku, lalu dengan cepat pelayan itu kembali ke belakang.

Sembari menunggunya, aku membenamkan diri kedalam lautan maya, perlahan melumat gurihnya berita yang disajikan berbagai media sembari menungguhnya. Aku masih terus membaca, sesekali tatapan aku arahkan ke pintu depan. Sesaat, dia masih juga hampa, wujudnya belum terlihat di balik pintu. Hanya desah-desuh orang yang lali lalang. Padahal sudah puluhan berita aku lahap habis.

"Ah, mungkin ini hanya kerjaan teman-teman saja. Mereka mungkin mengelabuiku." Keraguan mulai menyusup masuk ke alam pikirku. Sedang mataku terus meraba-raba mencari sosok yang aku tunggu. Waktu menunjukan pukul 21:05 wit, dia belum juga kunjung datang. Padahal ini sudah melampaui kesepakatan kami.

"Mungkin di jalan macet, santai dia pasti datang." Pikirku positif, mencoba mengusir setiap keraguan yang datang. "Jika memang dia tidak datang, berarti dia bukan ditakdirkan utukku." Aku kembali membatin.

Ketika aku hendak mengirim sebuah pesan, sesaat bersamaan, mataku menyoroti seorang perempuan yang menggunakan gamis dan berkacamata muncul dibalik pintu. Terlihat, dia perlahan masuk dengan pandangan yang meraba-raba seperti mencari seseorang.

Aku langsung mengamatinya beberapa saat dengan saksama, sembari mengucek-ngucek mata memastikan itu Azzahra. Benar saja, dia adalah Azzahra perempuan yang aku tunggu sedari lama. Rasa bahagia langsung menyelimuti jiwaku, sesaat keraguan-keraguan itu hilang. Aku langsung tersenyum-senyum sendiri menatapnya.

Tidak menunggu, aku acungkan tangan memberi isyarat, dia langsung mengenali dan berjalan kearahku dengan senyum yang menawan. Aku seakan tidak percaya melihatnya. Perpaduan warna gamis soft grey dengan khimar pastel, ditambah kacamata bening yang menempel di bolah matanya, juga senyum yang mengambang di wajahnya itu membuat dia sungguh menawan malam itu.

Pesonanya membuat aku hanyut kedalam taman, yang keindahan tidak bisa aku uraikan dengan kata-kata. Dia cantik melebihi putri salju dalam dongeng yang ditulis Tira Ikranegara. Juga jelita mengalahkan Ken Dedes yang ada dalam legenda.

Setelah sekian tahun berpisah denganya, akhirnya aku bisa kembali bertemu denganya. Azzahra adalah seorang perempuan dengan pribadi yang santai, sikapnya santun dan memiliki senyum yang menawan. Aku mengaguminya sejak lama, saat kami sama-sama kulia strata satu di Universitas Khairun. Kami lalu berpisah, ketika dia memilih melanjutkan studi di Jerman. Sementara aku lebih memilih di Inggris.

"Jika kelak kau telah menyelesaikan studimu di Inggris, apa kau menetap dan membangun hidup disana?" Tanya dia saat di akhir studi kami buat rencana untuk lanjut.

"Aku akan balik ke Indonesia mengabdi dan menyumbangkan seluruh pemikiranku demi kemajuan bagsa kita." Jawabku kala itu.

"Lalu kamu Azzahra, apa memilih tinggal di Jerman?" Tanyaku

 "Tidak kak, aku akan sepertimu dan selalu sepertimu. Kau adalah pribadi yang layak dikagumi." Ucapnya singkat.

"Selamat malam kak, bagaimana kabarmu?" Ucap Azahra menghampiriku, membuat lamunanku buyar seketika.

Aku melihat senyum yang indah itu mengambang di wajahnya. Iya, masih seperti dulu, seperti beberapa tahun silam saat kami masih kulia strata satu. Hanya saja dia kini tampil lebih berwibawa dengan mengenakan kacamata beningnya.

"Malam juga, aku dalam kondisi baik. Kamu sendiri bagaimana?" Ujarku dengan bahasa yang lembut.

"Syukurlah, Aku juga dalam kondisi baik kak." Jawabnya dengan senyum manisnya yang masih mengambang di wajah indanya.

Aku masih belum percaya melihat dia yang telah duduk manis di depanku. Dengan senyumnya yang terus memancar di mataku, seakan mebawaku hanyut jauh ke dunia antah beranta. Rasanya jiwaku bak seekor merpati yang di khendaki untuk terbang bersama kekasih, sembari mengemban tugas membawa surat cinta ke sepasang manusia yang lagi menjalin asmara di puncak Kie Besi. "Begitulah manusia, hanya boleh merencanakan. Tapi ketetapan dan nasib itu urusan tuhan." Aku terus menyakini itu.

"Jika tidak sekarang, aku akan datang kemudian saat kau benar-benar siap." Aku berujar di pintu keberangkatan Babullah Airport beberapa tahun silam.

"Jangan timpali aku dengan pertanyaan, biarkan pikiranku mengembara dan hanyut dalam telaga hati agar arus kepastian itu bisa mengalir bebas sampai di hilir kesimpulan." Katanya.

"Sungguh, aku tidak pernah menimpalimu. Aku hanya ingin mengatakan apa yang aku rasakan. Aku mencintaimua Azzahra."

"Tapi cinta tidak harus memiliki. Simpanlah cintamu, sang pecinta tidak pernah mengharap iba dari yang dicintainya."

"Suatu saat, kita akan di pertemukan kembali di tanah rempah-rempah. Menjawab semua ketidak pastian yang kau berikan. Aku akan bilang cinta di puncak Kie Besi saat senja mulai habis."

"Ekspektasimu terlalu jauh dan sangat tinggi." Katanya waktu itu sebelum masuk ke ruang cek in badara. Sejak itu kami tidak lagi bertemu, dia ke Jerman aku ke Inggris.

"Kak, telah aku buktikan kata-kataku dahulu. Ketika aku selesai, aku akan balik dan membagun Indonesia bersamamu."

Aku tersentak dibuatnya. Lalu terdiam sesaat, kata-kata barusan menyusup masuk ke dalam jiwaku, "membangun Indonesia bersamaku. Sunggu aku mau Azzahra, betapa telah lama aku menantimu."

"Kak, kok bengong." Ucapnya lagi sembari menyentuh tangaku membuat aku menatap wajahnya lebih dalam.

Mata itu, sungguh tidak bisa aku jelaskan lagi. Andai si Sukab itu hadir ke sini, aku akan bilang ke dia, yang paling indah bukanlah senja untuk Alina yang dia sobek itu. Melainkan bola mata Azzahra, seorang jelita yang kini duduk tepat di depanku.

"Oh iya, kamu telah membuktikan. Kita akan bangun Indonesia dengan pemikiran dan ide yang kita peroleh." Ucapku sedikit gugup.

"Iya kak, saatnya kita membagun negeri ini." Ucapnya dengan senyum yang semakin mekar di wajahnya.

Ah, senyum itu. Kau buat aku tidak berdaya Azzahra. Betapa kau tau, senyum itu membuat aku berkali-kali lunglai dalam lautan rindu. Sungguh Sukab keliru, yang cantik dan manis itu bukan Alina, melainkan kamu Azzahra. Andai si Sukab melihat Azzahra, pasti dia akan keponyongan, "ah tidak, aku tidak mau Sukab sampai tahu."

Lalu, Azzahra mulai bercerita. Perlahan aku hanyut dalam suaranya yang lembut nun syahdu. Kalimatnya tersusun rapi keluar dari mulutnya. Seperti gugus pulau raja ampat, tapi raja ampat tidak lebih indah. Masih jauh dari keindahannya. Aku tetap memilih menyimak setiap percakapannya, mulai dari kisah dan ceritanya di Jerman sampai urusan sekecilnya. Aku semakin larut dalam samudra percakapan yang buat itu. Samudra yang arusnya menghanyutkan teduh juga gelombangnya yang membawa damai.

Sementara malam kian larut, juice alpukad sudah habis kami teguk. Para pengunjung perlahan mulai keluar dari kedai. Dia masih terus bercerita, aku masih saja memenamkan diri dalam ceritanya. Lalu sesaat kemudian, dia perlahan mengaragkan wajahnya dekat ke telingaku.

Aku tidak tahu apa yang dia lakukan, sementara posisi wajahnya kian dekat. Aku dibuat gugup menyaksikan lakunya itu. "Azzahra, jangan buat aku menahan derita. Keindahanmu itu bisa membuat aku tercelup ke dalam lautan dosa." Aku membatin.

Wajahnya kian dekat, aku semakin penasaran. Orang-orang mungkin melihat kami, mereka pasti mulai berfikir yang tidak-tidak. Tapi aku tida bisa memastikan itu, mataku masih terfokus pada wajahnya yang jelita. Lalu dia semakin mendekat sampai hembusan napasnya terasa di pangkal telingaku.

"Kak, apa kau kini sudah beristri?"

Sebuah tanya darinya membuat aku terhentak seketika. Aku mengamati wajahnya masih tepat di di hadapanku. Dia mungkin tidak tahu bahwa hanya dia yang aku cintai sejak dulu. Jdi mana mungkin aku sampai berani menikai gadis lain yang jelas-jelas tidak aku cintai.

"Sampai kini aku belum beristri Azzahra. Adapun ingin tapi dengan si jelita yang ada di depanku." Ujarku dengan sedikit tawa.

Mendengar ucapanku, senyumnya kian lebar dan semakin indah. Tapi, dia masih memasang wajah serius seperti sebelumnya. Entah apa lagi tanya yang dia leparkan kepadaku. Sesaat terlihat dia menghela napas dalam-dalam lalu berkata,

"Apa kak masih seperti dulu, mencintaiku dengan serius?"

Sebuah tanya yang aku nanti sejak lama. Seperti aku katakan sebelumnya, Azzahra yang kini semakin berwibawa dan berani dari sebelumnya yang terkesenan malu-malu. Dengan cepat aku tumpahkan segala rasa cinta yang sedari lama mengendap dalam jiwaku,

"Tidak pernah terbesit walau sedikit untuk ragu mencintaimu Azzahra. Aku mencintaimu sejak lama dari kita masih berama menempuh strata satu. Sampi kini rasa itu masih sama, selalu mengambang dan mekar dalam kaldera jiwaku. Dia tidak pernah surut apalagi tumpah, sekali hanya setetes."

Mendengar pernyataan yang aku tumpahkan itu, dia seakan bahagia sekaligus sedih. Aku tidak tahu apa yang sedang dia pikir juga dia rasakan. Sekrang yang ada di pikiran dan jiwaku, hanya berharap dia bisa berbahagia dan bisa menerima cintaku dengan bijaksana. Lalu dia kembali menghela napas dalam-dalam dan berkata,

"Aku juga telah lama mencitaimu kak. Aku telah lama tersayat-sayat luka penantian. Maukah kamu menikahiku dan bersama membangun negeri kita Indonesia?"

Mendengar kalimatnya, seketika bahagia datang dengan lebat menguyur penantian yang menempel. Dinding jiwaku seketika luas dari endapan keraguan dan penantian. Aku tida bisa menyembunyikan kebahagiaanku, senyum kemudian mekar di wajahku. Aku laksana seorang tawanan perang yang puluhan tahun di tawan musu, lalu seketika dinyatakan bebas tanpa sepeser syarat.

Rasanya aku ingin segerah memeluknya dalam-dalam, agar dia tahu seberapa dalam cintaku kepadanya. Tapi, genangan dosa yang meruap-ruap bak lava panas membuat urung jiwaku. "Kenapa baru sekarang kau bilang ini. Ternyata bukan hanya aku yang mati dalam penantian. Tapi kamu juga mengalai hal yang sama." Gumamku dengan terus tersenyum dan mengamati wajahnya yang jelita.

"Sungguh, aku tidak bisa berkata-kata. Jika harapanmu demikian, maka aku menyanggupi untuk menikahimu. Bersamamu membangun Indonesia sampai akhir hayat kita." Ujarku dengan bahagia.

Dia juga terlihat bahagia ketika mendengar aku menyanggupi keinginannya. Dia menundukan kepalanya sembari mengusapi wajahnya dengan kedua telapak tangan yang putih dan beraih itu. Mungkin dia bersyukur kepada sang pemilik cinta, karena telah terjawab sudah doa-doa yang dia panjatkan.

Sesaat kemudian dia diam dengan wajahnya yang ditundukkan ke kepala. Lalu perlahan dia dengan cepat mendekati wajahnya kepadaku. Persis seperti yang dia lakukan sebelumnnya. Aku sendiri masih berbahagia mendapati jawaban dari semua itu. Tidak peduli sesiapa mengamati dan membuat tuduhan-tuduhan liar melihat wajahnya yang mendekat. Lalu dia berbisik pelan ke telingaku,

"Tapi kata dokter, usiahku hanya tinggal 4 bulan lagi. Apa kak masih mau mencintai dan menikahiku lalu bersama-sama membangun Indonesia."

Mateketen, 7 Juli 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun