"Tidak kak, aku akan sepertimu dan selalu sepertimu. Kau adalah pribadi yang layak dikagumi." Ucapnya singkat.
"Selamat malam kak, bagaimana kabarmu?" Ucap Azahra menghampiriku, membuat lamunanku buyar seketika.
Aku melihat senyum yang indah itu mengambang di wajahnya. Iya, masih seperti dulu, seperti beberapa tahun silam saat kami masih kulia strata satu. Hanya saja dia kini tampil lebih berwibawa dengan mengenakan kacamata beningnya.
"Malam juga, aku dalam kondisi baik. Kamu sendiri bagaimana?" Ujarku dengan bahasa yang lembut.
"Syukurlah, Aku juga dalam kondisi baik kak." Jawabnya dengan senyum manisnya yang masih mengambang di wajah indanya.
Aku masih belum percaya melihat dia yang telah duduk manis di depanku. Dengan senyumnya yang terus memancar di mataku, seakan mebawaku hanyut jauh ke dunia antah beranta. Rasanya jiwaku bak seekor merpati yang di khendaki untuk terbang bersama kekasih, sembari mengemban tugas membawa surat cinta ke sepasang manusia yang lagi menjalin asmara di puncak Kie Besi. "Begitulah manusia, hanya boleh merencanakan. Tapi ketetapan dan nasib itu urusan tuhan." Aku terus menyakini itu.
"Jika tidak sekarang, aku akan datang kemudian saat kau benar-benar siap." Aku berujar di pintu keberangkatan Babullah Airport beberapa tahun silam.
"Jangan timpali aku dengan pertanyaan, biarkan pikiranku mengembara dan hanyut dalam telaga hati agar arus kepastian itu bisa mengalir bebas sampai di hilir kesimpulan." Katanya.
"Sungguh, aku tidak pernah menimpalimu. Aku hanya ingin mengatakan apa yang aku rasakan. Aku mencintaimua Azzahra."
"Tapi cinta tidak harus memiliki. Simpanlah cintamu, sang pecinta tidak pernah mengharap iba dari yang dicintainya."
"Suatu saat, kita akan di pertemukan kembali di tanah rempah-rempah. Menjawab semua ketidak pastian yang kau berikan. Aku akan bilang cinta di puncak Kie Besi saat senja mulai habis."