Mohon tunggu...
Erik nugroho
Erik nugroho Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Belum bekerja

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pembaruan Hukum Perdata Islam

18 Maret 2024   23:25 Diperbarui: 19 Maret 2024   00:01 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

    Disepakati ulama bahwa kewajiban nafkah itu ada pada laki- laki, dalam hal ini suami terhadap isteri, ayah terhadap anak (demikian sebaliknya anak kepada ayah dan/atau ibu saat ayah sudah tak lagi sanggup menafkahi sementara anak telah mapan). Dengan demikian suami dan/atau ayah itu akan berdosa jika dalam kenyataannya tidak menjalankan kewajiban nafkah tersebut. Terhadap kondisi ini, banyak isteri yang menggugat suami atas dasar kondisi kesempitan suami memberi nafkah (mu'sir/dzu 'usratin). Kendati ketidaksanggupan (i'sar) suami membayar nafkah isteri, memunculkan hak bagi isteri untuk mengajukan faskh nikah sebagaimana akan dijelaskan berikutnya, namun dalam kenyataannya tidak sedikit pula yang tetap mempertahankan rumah tangga dengan banyak pertimbangan, misalnya sanksi sosial jika bercerai, dan terutama pertimbangan masa depan anak-anak mereka. Konsekuensi dari mempertahankan rumah tangga itu, sementara suami sudah tidak dapat diharapkan lagi kesanggupannya menafkahi isteri, maka isteri pun akhirnya terjun dalam upaya mengumpulkan pundi pundi rezeki yang selanjutnya pundi-pundi itu diperankan sebagai alat pemenuhan kebutuhan kehidupan sehari hari.

    Apa yang dilakukan kaum isteri itu, secara tidak langsung telah mengambil alih fungsi suami yang seharusnya berkewajiban nafkah. Modernisasi kehidupan saat ini, menghadirkan situasi tersebut sebagai kenyataan, dimana kaum isteri berperan besar dalam memenuhi kebutuhan kehidupan rumah tangganya, dengan menjalani profesi- profesi tertentu sebagai jalur kariernya. Istilah wanita karier pun semakin populer untuk menggambarkan kenyataan tersebut.

Banyak motifasi yang melatarbelakangi kemunculan kenyataan itu di antaranya:

1.Suami sudah tidak mampu lagi untuk bekerja dengan alasan tertentu guna mencari nafkah.

2.Suami masih sanggup bekerja mencari nafkah, namun karena tuntutan pemenuhan hal-hal sekunder diperlukan penghasilan tambahan. Atau penghasilan suami dianggap kurang.

3.Suami berpenghasilan cukup untuk kebutuhan primer dan sekunder, namun isteri merasa perlu berkarier atas pertimbangan memiliki pendidikan dan keahlian dan kesempatan yang memadai, sehingga sayang jika tidak dimanfaatkan.

4. Penghasilan cukup dan kebutuhan terpenuhi secara wajar, sementara pendidikan tak memungkinkan berkarier, namun tetap memaksakan diri untuk bekerja, untuk membuang penat akibat tekanan batin/psikologis rumah tangga, apalagi jika misalnya belum dikaruniai keturunan, sehingga tidak memiliki kesibukan yang berarti.

3. Nafkah Dan Talak ( Putusnya Perkawinan Karena Perceraian )

    Kajian seputar nafkah, dinilai memiliki korelasi dengan lembaga talak. Bentuk korelasi itu adalah bahwa karena nafkah dibebankan kepada suami secara utuh dan otoritatif, dimulai dari pemberian berupa mahar, serta nafkah selama perkawinan maupun setelahnya berupa mutah dan iddah, maka hal itu menjadi (setidaknya) salah satu alasan pendukung bahwa hak talak itu secara pribadi dan otoritatif pula berada pada suami.

   Dengan demikian, nafkah memiliki peran sentral dalam eksistensi talak di tangan suami. Peran sentral itu, hampir-hampir (kebablasan) dipahami sebagai illat hukum dari talak sebagai otoritas suami. Kendati isar suami atau ketidaksanggupan suami memberi nafkah, dapat menjadi alasan putusnya perkawinan lewat jalur fasakh oleh hakim, namun hal itu tidak berarti bahwa isteri karena berperan sebagai pemberi nafkah, lantas berhak atas penjatuhan talak kepada suaminya. Mengantisipasi kekeliruan ini, maka harus dipahami bahwa hak/otoritas talak itu ada pada suami bukan isteri, adalah sebentuk hukum asal (ashl) yang secara eksplisit dituangkan oleh al Quran dan Al Sunnah sebagai sumber bukum sehingga tidak dapat dicari-cari illatnya dengan asumsi jika illat hilang hukum pun hilang. Maka kendatipun misalnya ada sesuatu yang dipaksakan dinyatakan sebagai illat hukum dalam hal ini, maka konsep illat (atau bisa dimaknai giyas) itu tidak bisa diberlakukan dalam hukum asal, karena keberlakuan instrumen illat/qiyas hanya pada hukum far'i.

4. Nafkah Dan Porsi Bagian Waris 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun