Mohon tunggu...
Erik nugroho
Erik nugroho Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Belum bekerja

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pembaruan Hukum Perdata Islam

18 Maret 2024   23:25 Diperbarui: 19 Maret 2024   00:01 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

      Menurut Ibnu Qayyim, hadis ini merupakan satu-satunya hadis Nabi tentang gugurnya hadhanah karena menikah. Terlepas dari sisi kuantitas itu, yang jelas faktanya hadis tersebut ada, sehingga yang selanjutnya harus dilakukan adalah menilai kualitasnya, atau menakar kehujahan dan mengupas substansi hadis tersebut. Hadis itu sebetulnya berkisah tentang sebuah peristiwa dimana sepasang suami istri bercerai dan memperebutkan anak mereka. Sang isteri kemudian menghadap/ mengadu/menyengketakan perkaranya itu di hadapan Muhammad saw dalam kapasitasnya sebagai Qadhi dan Rasul; dengan produk hadis sebagai sumber hukum), dan menyampaikan dalil-dalil psikologis kaitannya dengan kapasitasnya sebagai ibu, dimana sejak dari buaian, dirinyalah yang merawat anak itu, baik saat dalam kandungan, menyusui, hingga saat-saat anak itu tumbuh dalam pangkuannya. Sementara saat itu suaminya telah menalaknya, lantas akan merebut anak itu darinya. Rasul pun kemudian memutuskan bahwa sang ibulah yang lebih/paling berhak untuk mengasuh anak tersebut, sejauh ia belum/tidak menikah lagi.

      Jika dicermati susunan kalimatnya, maka redaksi/matan hadits itu terdiri dari dua kalimat yang selanjutnya dimajemukkan. Yang pertama Anti Ahaqqu bihi dan kedua maa lam tankihi.

     Memenuhi maksud itu, maka redaksi hadis selanjutnya menggandeng kalimat maa lam tankihi, sebagai pelengkap (yang mengharuskan) dari adanya lafaz ahaqqu. Keberadaan kalimat maa lam tankihi dengan demikian memberikan arti bahwa ibu tidak lagi berhak atas hadhanah anaknya jika dalam masa hadhanah (sebelum anak mumayiz/berusia 7 atau 8 tahun versi Syafi'i), ia telah menikah lagi dengan orang lain. Sebagian kalangan fuqaha' memberikan spesifikasi dubul dalam pengertian nikah itu, artinya dukhul itulah yang menjadi standar batas hak hadhanah bukan akadnya (di antaranya pandangan kalangan Malikiyah).

    Dalam situasi dimana seorang ibu masih sendiri maka hadhanah anaknya mutlak menjadi hak/kewajibannya. Sementara ketika telah menikah lagi, maka pernikahannya itu oleh Imam Syafii dan Imam Malik dikategorikan sebagai mani' (penghalang; bagian dari hukum adhi) dari hak hadhanah atas anaknya. Artinya jika sang Ibu bukan lagi berstatus isteri dari laki-laki lain (tidak terikat pernikahan), maka kilanglah penghalang itu, dan hak asuh/hadhanah atas anaknya akan kembali kepadanya.

    Berangkat dari uraian ini, agaknya hak hadhanah atas anak bagi seorang ibu itu dibangun atau berlangsung selama terhindar dari sedikitnya 2 situasi:  

1. Dari sisi ibu, yaitu selama belum menikah lagi, karena saat ia menikah lagi hak hadhanah beralih ke pihak lain (tentang hal ini dibahas dalam sub berikutnya).

2. Dari sisi anak, yaitu selama belum mumayyiz.

    Batas mumayiz (haddut tamyiz) kaitannya dengan batas hadhanah/nihayatul hadhanah berbeda di kalangan fuqaha, Menurut Syafi'i, batas tamyiz/hadhanah 7 atau 8 tahun baik anak laki-laki ataupun perempuan. Imam Malik membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki batasnya itsghar (waktu dimana gigi susu sudah habis semua kemudian tumbuh gigi yang baru, masa dimana anak sejak tumbuh gigi baru itu disebut itsghar, antara 6 sampai 14 tahun). Sementara anak perempuan batasnya sampai menikah dan telah dicampuri suaminya. Abu Hanifah menilai batas hadhanah anak perempuan adalah bulugh/akil balig, sementara anak laki-laki hingg istighna, anak itu mampu mandiri dari pengasuhan sang ibu. (lihat Al Muntaqa Syarah al Muwatha IV h. 85).

B. Anak, Ibu Kandung, dan Ayah Tiri 

    Klausul maa lam tankihi semakin menarik dikaji, saat kita melibatkan kehadiran ayah tiri sebagai konsekuensi dari adatoys pernikahan sang ibu. Ada pesan sangat tegas dalam hadis itu bahwa ketika sang ibu menikah, hak (ahaqqiyah) hadhanah atas anak gugur/beralih. Hal itu karena berangkat dari sebuah nilai paten dalam tradisi ajaran Islam bahwa perempuan kapanpun ia menjadi isteri. maka aktifitas utamanya adalah ketaatan horizontal kepada suami, yang ketaatan itu tidak dapat dikalahkan saat bertentangan dengan ketaatan horizontal yang lain kecuali jika suami merestuinya. Hal itu pula yang terjadi saat sang ibu memegang hak hadhanah atas anaknya kemudian menikah lagi dengan orang lain, maka kepentingan mengasuh anak itu tidak lebih diutamakan ketimbang kepentingan menaati suami dan pelayanan yang maksimal kepada suaminya. Atau dengan rumusan bin dapat dikatakan bahwa tidak menaati/mengurusi/melayani suami itu mudharatnya lebih besar (potensi dosanya bagi isteri) ketimbang tidak mengasuh anak (karena anak masih bisa diasuh oleh pihak lain secara maksimal), sementara ketika dua kemudaratan mengemuka secara bersamaan, maka kemudaratan yang besarlah yang dijaga dengan cara melanggar/melaksanakan kemudaratan yang kecil (ru'iya a'zhamuhuma dhararan birtikabi akhaffihima). Sehingga guna menjaga keutamaan menaati suami itu, hak hadhanah bagi sang ibu harus dinyatakan gugur. 

     Berangkat dari hubungan kepentingan itu, maka sebagian kalangan fuqaha' mensyaratkan ridha suami baru (ayah tiri anak/ bukan bekas suami atau ayah kandung anak), jika sang ibu ingin hak hadhanahnya tetap berlangsung. Hal itu karena kepentingan suami sedikit banyak akan terganggu dengan adanya tanggungan ibu mengurus anak bawaannya itu.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun