Belakangan kondisi Nenek semakin buruk. Tubuhnya mengurus sampai terlihat seperti tengkorak hidup, padahal porsi makannya tinggi. Kulitnya sangat kering dan mudah terkelupas jika menggesek benda apapun. Aroma tidak sedap keluar dari tubuhnya---bukan seperti aroma orang tua pada umumnya, tapi seperti bau kotoran atau bangkai busuk---meski sudah dimandikan secara rutin dan diberikan wewangian. Kutu-kutu mulai bermunculan di rambutnya yang keriting dan mulai rontok.
Tidak hanya secara fisik, tapi mentalnya juga memburuk. Nenek sering berteriak histeris, sampai menggedor dan mendobrak pintu maupun jendela. Beberapa kesempatan, Nenek terlihat suka berbicara sendiri di dalam kamar maupun di ruang tamu, seolah sedang berkomunikasi dengan sosok tak kasat mata. Apabila malam sudah tiba, kondisinya makin menjadi-jadi, sampai membuat seisi rumah resah bahkan tidak bisa tidur.
Ricky, cucunya, menjadi resah bahkan sampai sulit mengerjakan tugas-tugas kuliahnya saat berada di rumah. Perihal itu berlangsung setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit tanpa jeda. Tak hanya Ricky, Ibu sebagai putrinya, juga merasakan hal serupa---bahkan dia sampai tidak bisa tidur semalaman hanya untuk menenangkan Nenek. Dalam beberapa kesempatan, mereka ingin menemani sekalian mengajak obrol Nenek, tapi dia justru berteriak aneh, berbicara sendiri tanpa menghiraukan lawan bicaranya, mengamuk tidak jelas, bahkan sampai melempar beberapa benda ke arah mereka secara membabi buta. Walau begitu, mereka masih berusaha merawat dan menenangkannya. Sebab sebagai keluarga Tionghoa Katolik, sangatlah wajib merawat orang tua dalam kondisi apapun.
Beberapa kali mereka menyewa asisten rumah tangga untuk merawat Nenek. Namun tidak ada yang tahan sampai sebulan. Malahan ada yang sampai kabur setelah bekerja lima hari. Di tengah kesulitan dan keputusasaan, akhirnya Ibu terpaksa menyewa seorang Suster khusus untuk orang tua, meski biayanya lebih mahal daripada pembantu rumah tangga. Beruntung, Suster ini memiliki kesabaran yang besar, sehingga dia bisa menghadapi segala tingkah lakunya yang impulsif dan terkadang meledak-ledak. Akan tetapi, Suster hanya mampu mengendalikan Nenek saat berada di tempat umum saja. Berbeda ketika di rumah, dimana Nenek lebih sulit terkendali sehingga Suster tetap kewalahan setengah mati.
Upayanya ini dilakukan karena mereka memiliki kesibukan masing-masing sehingga tidak mampu mengawasi atau menjaganya selama seharian penuh. Ricky masih kuliah dan hendak menyiapkan diri untuk skripsi. Ibu masih kerja kantoran, dan dia cukup sibuk. Terlebih mereka hanya tinggal berdua. Ayah telah tiada sejak Ricky SMA, sehingga Kakek mengambil alih perannya---setidaknya sampai tahun pertama kuliah; Kakek meninggal dunia, dan mereka membawa Nenek untuk tinggal bersama. Semenjak itulah kondisi Nenek mulai berubah secara perlahan-lahan.
Beberapa kali mereka sempat membawa Nenek ke dokter, karena kondisi fisiknya sangat memprihatinkan. Tetapi anehnya, semua dokter yang memeriksa kondisi Nenek, mereka tidak menemukan penyakit serius. Dari pengecekan darah, jantung, paru-paru, pencernaan, serta sebagainya semua tampak sehat dan normal secara ilmu medis. Hal ini membuat Ricky dan Ibu makin bingung.
****
Di waktu senggang, Ricky suka menghibur diri dengan bermain bersama Burung Hantu peninggalan Ayah---yang dibeli saat masih bayi saat dinas terakhirnya di Jawa Tengah---yang diletakan di dalam sebuah kandang besar di teras rumah, dekat sisi kiri pintu utama. Itulah adalah satu-satunya binatang peliharaan sekaligus teman dekat Ricky di rumah. Burung Hantu itu tidak seperti burung hantu pada umumnya yang besar dan tampak menyeramkan; dia berukuran kecil yang memiliki tampang menggemaskan dan suka bertingkah manja seperti kucing setiap berinteraksi dengan Ricky. Suara kicauannya di malam hari terdengar sangat meneduhkan dan mengisi suasana hati Ricky yang muram. Berbeda dengan Ricky, Ibu memiliki pandangan yang negatif terhadap Burung Hantu, karena kepercayaannya terhadap mitos. Baginya Burung Hantu adalah binatang yang mengundang petaka, duka, bahkan makhluk halus. Ibu curiga bahwa Burung Hantu sebagai penyebab kematian Ayah dan perubahan dari sikap Nenek. Tetapi Ibu terlalu sungkan untuk mengatakannya, karena dia tahu betapa sayangnya Ricky terhadap Burung Hantu itu.
Sampai pada suatu hari, Ibu curhat kepada keponakannya, Tante Inaya, tentang kondisi Nenek sekaligus kecurigaannya terhadap eksistensi Burung Hantu di rumahnya. Tante Inaya langsung menduga bahwa kasus yang dialami Nenek ada sangkut paut dengan hal supernatural maupun metafisika. Dia menasehati Ibu agar kandang Burung Hantu tidak ditaruh di teras rumah, meski tidak dijelaskan secara spesifik. Dia lantas menyarankan agar Ibu memanggil rohaniwan untuk membersihkan Nenek dari kuasa jahat, sekaligus melakukan sakramen perminyakan.
Ibu setuju dan ingin menghubungi Romo Matias Laga Gheta, karena dia kenal dengannya. Apalagi Romo Matias memimpin misa tutup peti Kakek, sekaligus memimpin ibadah pemberkatan rumahnya. Tetapi Tante Inaya menyodorkan nama Frater Damianus Talo Mau, seorang frater muda dari Nusa Tenggara Barat---provinsi yang sama dengan asal Romo Matias---yang dikenal memiliki indera keenam.
Tante Inaya bersaksi, bahwa 10 tahun yang lalu saat ibunya menderita paranoid akut, seorang teman mempertemukannya dengan Frater Damianus. Saat dia berkunjung ke rumah Tante Inaya, dia mendeteksi adanya sosok jahat yang bersarang di sebuah lukisan minyak---lukisan seorang perempuan yang sedang menari. Menurut Frater Damianus, ada sesosok perempuan berwajah pucat dan berlidah panjang yang mendiami lukisan tersebut---dia suka keluar saat malam untuk mengganggu ibunya Tante Inaya, termasuk menghisap sari-sari tubuhnya hingga kurus kering seperti kondisi Nenek saat ini. Lantas Frater Damianus meminta lukisan itu segera dibuang, lalu mendoakan ibunya Tante Inaya. Setelah hari itu, ibunya Tante Inaya sudah tidak lagi paranoid, kondisi tubuhnya pulih, sampai akhirnya dia bisa pergi dengan tenang.
Kesaksian itu membuat Ibu tertarik untuk memanggil Frater Damianus. Tetapi dia masih mengharapkan Romo Matias. Akan tetapi, takdir ternyata berkata lain, Romo Matias sedang pergi memimpin ziarah rekreasi di Yogyakarta-Jawa Tengah selama setengah bulan. Ibu juga sempat menghubungi beberapa Romo yang dia kenal di gereja parokinya, tapi lagi-lagi mereka sedang ada acara dalam waktu dekat. Tanpa pilihan lain, Ibu akhirnya menghubungi Frater Damianus dari nomor yang diberikan Tante Inaya.
Singkat cerita, Ibu berhasil menghubungi Frater Damianus, dan dia langsung menyanggupinya. Mereka segera mengatur waktu kunjung di hari Minggu, sekitar jam dua siang. Rencananya Frater Damianus akan dijemput di suatu tempat di Jakarta Barat---tapi mereka harus menunggu info darinya.
Â
****
Di hari yang telah disepakati, Ricky dan Ibu menunggu kabar dari Frater Damianus untuk menjemputnya. Namun waktu terus berlalu hingga senja, tapi masih belum ada kabar darinya. Ibu mencoba menghubungi Frater Damianus lewat pesan dan panggilan, tapi nomornya tidak aktif. Hal itu membuat Ricky sangat kesal dan merasa dipermainkan. Dia lantas menyarankan agar Ibu segera membatalkan dan menjadwalkan ulang kunjungan Frater Damianus. Meski awalnya ragu, Ibu akhirnya setuju, lalu meninggalkan pesan singkat kepada Frater Damianus.
Dengan suasana hati yang kesal dan kecewa, mereka memutuskan untuk pergi makan malam di sebuah restoran dimsum di dekat rumah bersama Nenek. Di restoran dimsum itu, mereka makan malam seperti biasa. Berkat penanganan Suster yang cakap, sikap Nenek bisa terkendali sehingga tidak melakukan tindakan-tindakan rusuh yang mengundang perhatian publik.
Namun momen makan malam bersama itu seketika berubah, ketika ponsel Ibu tiba-tiba berdering. Itu panggilan dari Frater Damianus. Ibu menatap layar sebentar, lalu segera mengangkat panggilannya.
"Bu, saya sekarang sedang menuju ke sana."
"Eh... Frater? Saya sekeluarga sedang di luar. Tadi kan saya sudah bilang untuk ganti hari. Bahkan saya sudah coba hubungi Frater berkali-kali, tapi---"
"Tapi saya sudah di jalan! Dan sebentar lagi saya mau sampai di rumah Ibu!"
Sontak suasana hening sejenak. Ricky yang duduk di sebelah Ibu hanya menggeleng pelan dengan tatapan campuran antara kaget dan kesal. Tetapi, karena Ibu sungkan dan tidak ingin memperpanjang masalah, akhirnya dia membalas;
      Â
"Baiklah, kami pulang sekarang."
 Â
Lalu Ibu menutup ponsel dan menyuruh mereka untuk segera menghabiskan makanan, bayar bill, dan pulang. Ricky kecewa dengan keputusan Ibu, tapi dia tidak punya pilihan selain menuruti perintahnya.
Sesampainya di rumah, mereka mendapati seorang pria sedang berdiri di depan pagar. Dia memakai kemeja biru tua dengan tas selempang hitam di bahunya. Tubuhnya tegap, kulitnya gelap, dan ekspresinya sangat kaku. Tatapannya yang tajam dan dingin membuat kesan tidak bersahabat dan rasa tidak nyaman setiap kali menatapnya. Di tangan kanannya melingkar sebuah gelang gading, sementara di tiap jari manisnya dihiasi cincin akik besar berwarna mencolok. Andaikan orang itu tidak memperkenalkan diri sebagai Frater Damianus, mungkin mereka akan mengiranya seorang dukun.
Lantas Ibu mengajak Frater Damianus masuk ke dalam rumah. Di waktu yang bersamaan, ketika Nenek menatap wajah Frater Damianus dan hendak dibawa masuk ke rumah, dia sontak menjerit histeris dan meronta-ronta kesetanan. Mulutnya mengeluarkan kalimat acak, tidak utuh, dan memanggil nama-nama yang asing. Khawatir akan kondisi Nenek yang mengganggu atau bisa melakukan hal yang tidak diinginkan, Ibu segera menyuruh Suster untuk membawa Nenek masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu, barulah Ibu menceritakan permasalahannya kepada Frater Damianus, yang sedang duduk di sofa ruang tamu.
Frater Damianus mengangguk singkat. Lalu dia meminta selembar kertas yang ditulis nama lengkap beserta tanggal dan tahun kelahiran Ricky, Ibu, Nenek, dan---anehnya---juga Kakek yang telah meninggal. Begitu kertas itu sampai di tangannya, Frater Damianus menatapnya lama dan jemarinya meraba permukaan kertas---seperti sedang menghitung, menerawang, dan merasakan sesuatu yang tidak terlihat. Ekspresinya sangat serius, bola matanya bergerak seperti mesin scanner. Ricky memperhatikan gerak-geriknya, timbul perasaan canggung. Itu pemandangan yang berbeda---atau bisa dibilang sangat kontras---daripada gambaran rohaniwan yang selama ini dia temui; meski Ricky berupaya membangun dan mempertahankan pikiran positif---barangkali, setiap rohaniwan memiliki caranya sendiri untuk menjalankan tugasnya.
Setelah beberapa menit menatapi kertas itu, Frater Damianus memejamkan matanya sejenak. Lalu membukanya kembali dengan sorot mata yang lebih serius, menatap Ibu dan Ricky yang duduk di hadapannya. Â Â Â
"Berdasarkan hasil penerawangan dan hitung-hitungan BaZi, saya melihat ibumu (Nenek) memiliki energi yang bertentangan dengan ayahmu (Kakek). Bahkan energi ibumu juga bertentangan dengan kamu dan anakmu. Jadi, ibumu ciong dengan kalian sekeluarga! Tetapi, kamu dengan anakmu juga ciong, karena kalian berdua memiliki energi yang saling bertolak belakang."
Kata-kata itu membuat suasana jadi dingin dan berat seketika. Batin mereka seperti terhantam sesuatu, sampai-sampai tidak mampu berkata apa-apa. Lalu Frater Damianus melanjutkan penjelasan dengan penuh keyakinan, bahwa energi yang saling bertolak belakang ini seperti rantai kutukan, dan jika tidak segera diputus maka akan semakin buruk---seperti menggerogoti rezeki, merusak karier, melemahkan kesehatan, hubungan jadi tidak harmonis, hingga memancing malapetaka lainnya. Frater Damianus menekankan bahwa kutukan ini bisa menurun ke keturunan berikutnya.
Lalu, satu per satu, Frater Damianus menguraikan jenis-jenis konflik yang kerap dialami mereka---dan semua benar. Walhasil, Ibu terperanjat, napasnya memburu. Rasa takut merambat dari ujung jari hingga ke dadanya, sehingga tubuhnya mulai bergetar. Terlebih lagi, Ibu masih memegang kepercayaan tradisional Tiongkok, sehingga rasa takutnya kian menjadi-jadi. Â Â Â
"Frater... apakah ada jalan keluarnya?"
"Kalian harus diangkat anak! Harus dikwee pang! Kamu harus diangkat anak oleh Bunda Maria. Sedangkan anakmu, harus diangkat anak oleh Tuhan Yesus."
"Jadi... kapan kita harus dikwee pang? Apakah sekarang bisa?"
Frater Damianus menggelengkan pelan dan berkata, "Tidak. Saya harus melihat tanggal cantiknya dulu. Semua harus disesuaikan dengan tanggal lahir kalian, agar ritual kwee pang bisa berjalan maksimal."
Ibu mengangguk patuh, namun Ricky hanya terdiam---ada perasaan ganjil tapi juga takut. Ucapan Frater Damianus tentang rantai kutukan dan dampaknya membuatnya ikut terperosok ke lubang ketakutan. Apalagi, sebagai keluarga Tionghoa, sangat tabu untuk menolak atau meremehkan ilmu metafisika Cina yang diwariskan oleh para leluhur.
Frater Damianus lantas memimpin doa dengan suara lantang dan penuh penekanan. Namun, di tengah-tengah lantunan doa, dia menyisipkan cerita pengalamannya---bagaimana dia pernah menyelamatkan keluarga-keluarga dari gangguan roh jahat, dan menceritakan secara detail permasalahan yang mereka miliki. Awalnya Ricky kaget---bukan karena ceritanya yang fantastis, tapi karena mengira doa sudah usai---lalu segera membuat tanda salib. Setelah Frater Damianus selesai membagi ceritanya dan sedikit mengobrol dengan Ibu---yang penasaran dengan kasus yang pernah ditanganinya---dia melanjutkan kalimat doa dan baru mengucapkan "amin" lalu membuat tanda salib. Momen itu membuat Ricky bingung. Walaupun begitu, Ricky tetap mengakui bahwa kisah-kisah yang dibawakan Frater Damianus begitu mencekam, penuh gambaran yang mengerikan, mengejutkan, dan bahkan amat dramatis. Meski di akhir ceritanya dibalut dengan aksi heroik---seakan Frater Damianus adalah satu-satunya orang yang dapat mengalahkan kuasa gelap dan melindungi para kliennya.
Nenek menjerit-jerit tanpa henti dari dalam kamarnya. Dia mulai menjerit sejak Frater Damianus mulai membaca nama dan tanggal lahir mereka sekeluarga; lalu semakin memburuk saat Frater Damianus memimpin doa---sampai menendang-nendang pintu kamar secara frontal, meski sudah dicegah oleh Suster. Ditambah lagi dengan suhu rumah yang memanas, membuat suasana jadi sangat tidak menyenangkan. Ricky dan Ibu sangat berharap Frater Damianus mampu mengusir apapun yang merasuk dan mengacaukan jiwa serta pikiran Nenek, agar kegilaan ini segera berakhir.
"Sebelum kita lanjut ke tahap berikutnya," ujar Frater Damianus sambil berdiri dari sofa ruang tamu, "Saya harus katakan, sejak pertama kali melangkah masuk ke rumah ini, tubuh saya terasa panas dan gemetar. Ada banyak barang di rumah ini yang harus segera disingkirkan!"
Frater Damianus beranjak dan menunjuk hiasan logam dinding berbentuk cetakan Batik yang terpajang di dinding perantara ruang tamu dengan ruang utama.
"Buang ini!" tegasnya.
Setelah itu, Frater Damianus mulai menelusuri ruang demi ruang, menunjuk benda apa saja yang dianggap sarang atau magnet bagi roh-roh tidak suci, dan memerintahkannya untuk dibuang. Mulai dari patung, tanaman sintetis, hiasan, boneka, bahkan lukisan petani yang memanen sawah hijau. Semuanya diperintahkan untuk segera disingkirkan, kecuali benda-benda bersifat rohani. Ibu dan Ricky sangat kewalahan saat menandai dan mengangkut barang-barang yang harus disingkirkan. Sampai-sampai Ibu harus memanggil Sopir Pribadinya untuk datang membantu---bahkan Suster pun diminta bantuannya walau sebentar.
Pelan-pelan Ricky mulai menyadari, bahwa barang-barang yang dipilih dan dibuang, semuanya adalah peninggalan Ayah dan Kakek. Bahkan Ricky sadar, sudah hampir separuh lebih isi rumah mereka diangkut ke tumpukan barang "terkutuk" siap dibuang di teras. Di dalam rumah, yang tersisa hanyalah perabotan dasar, barang elektronik, dan benda-benda bersifat rohani. Suasana rumah benar-benar terasa berbeda. Ruangan yang tadinya hidup, hangat, dan penuh warna, sekarang terasa hampa dan dingin. Tetapi Frater Damianus meminta Ricky untuk mengikhlaskan semua itu, karena menurutnya Ayah dan Kakek sudah tiada---lagipula semua ini demi pembersihan rumah dari roh jahat, agar Nenek bisa sembuh.
Tidak berhenti pada hiasan rumah, kini Frater Damianus mulai mengalihkan perhatiannya ke struktur rumah. Pandangannya tertuju pada tiang penyangga yang terletak tidak jauh di seberang kamar Nenek.
   Â
"Tiang ini harus dibongkar! Atau didesain ulang! Posisi seperti ini memotong pintu masuk kamar Nenek kalian secara vertikal. Sangat tidak baik secara Feng Shui." ujar Frater Damianus.
Lagi-lagi dia bercerita tentang seorang kenalannya yang memiliki arsitektur serupa di rumahnya. Menurutnya, orang itu mengalami nasib buruk bertubi-tubi---usahanya bangkrut, anaknya sakit-sakitan, hingga ditinggal selingkuh istrinya. Semua disebabkan karena saudaranya iri dengan pencapaian usahanya, sehingga dengan sengaja mendirikan sebuah tiang penyangga di depan pintu utama---tampak memotong secara vertikal---saat membantu pembangunan rumahnya. Ibu terbawa dengan cerita tersebut, sehingga dia segera memanggil Sopir Pribadi demi mengatur penyelesaian masalah tiang tersebut. Entah didesain ulang atau dibongkar. Entah baiknya dieksekusi dalam waktu dekat atau lain waktu---Frater Damianus memaksanya agar segera diurus.
Arkian, Ibu lantas menuntun Frater Damianus ke arah luar rumah. Tepatnya ke kandang Burung Hantu peliharaan Ricky.
"Frater, Burung Hantu ini apakah aman untuk dipelihara? Sebab keponakanku, Tante Inaya, menyarankan untuk tidak ditaruh di luar."
"Burung Hantu itu pengundang roh jahat! Di kampung saya, orang tua selalu bilang kalau Burung Hantu bersuara di dekat rumah, itu tanda bakal ada yang meninggal. Di beberapa desa, mereka percaya Burung Hantu adalah jelmaan roh jahat. Jadi itu bukan sekadar binatang, tapi sosok setan pembawa petaka!"
"Jadi... maksud keponakan saya?"
"Maksudnya jelas! Dia tidak mau kalian memeliharanya, tapi tidak tega mengatakannya secara terus terang. Burung ini harus segera dibuang malam ini juga!" tegas Frater Damianus.
"Tapi... Frater... bukannya semua binatang itu ciptaan Tuhan dan baik apa adanya?" tanya Ricky bimbang dan gemetar.
"Kalau mayoritas manusia meyakini binatang itu buruk, maka dia tetap akan membawa keburukan!" balas Frater Damianus, "Kalian mau Nenek sembuh atau tidak? Kalau mau, lepaskan burung pembawa petaka itu!"
Ricky terdiam. Hatinya terguncang hebat. Rasanya ingin menentang, tapi semua mata tertuju padanya---seakan memberi isyarat untuk melepaskannya. Akhirnya dengan berat hati dia membuka kandang Burung Hantu. Ricky tidak ingin jadi Malin Kundang bagi keluarganya. Sedangkan Ibu, walau tidak menyukai Burung Hantu, tapi dia tidak tega melihat Ricky yang secara terpaksa membuangnya---walau pada akhirnya dia sendiri juga tidak bisa berbuat apa-apa.
"Biarin saja begitu. Nanti dia terbang sendiri. Itu lebih bagus." ujar Frater Damianus saat melihat Ricky membuka kandang Burung Hantu.
"Frater, apakah ada saran untuk kami pelihara binatang apa? Agar anak saya tidak kesepian di rumah." tanya Ibu.
"Peliharalah anjing atau kucing. Tetapi saya lebih menyarankan kucing. Karena kucing bisa menyerap dan menetralisir energi negatif di rumah kalian. Terlebih lagi, jika kalian kena serangan santet, maka kucing akan mati menggantikan nyawa tuannya." jawab Frater Damianus.
Ricky terkejut mendengarnya, seolah memelihara kucing hanya untuk dijadikan tumbal daripada teman. Selain itu, Ricky tidak setuju dengan saran tersebut karena dia takut dengan anjing, sedangkan Ibu alergi dengan bulu kucing. Akan tetapi, entah bagaimana, dia tidak sanggup menyuarakannya, karena seisi rumah seolah berada di pihak Frater Damianus dan menekannya untuk taat.
Kemudian, mereka kembali ke dalam rumah dan mulai menelusuri sisa ruangan yang belum sempat mereka masuki. Saat Frater Damianus tiba di dalam ruang belajar Ricky, tanpa basa-basi tangannya mencabut sebuah hiasan dari ukiran kayu yang berbentuk portrait secara kasar.
"Benda ini harus dibuang!"
"Frater yakin hiasan ini harus dibuang? Ini ukiran diorama bayi Tuhan Yesus bersama Bunda Maria dan Santo Yosef di kandang sapi." tanya Ricky terkejut dan bingung saat melihat hiasan tersebut.
Untuk pertama kalinya, Frater Damianus terdiam. Ekspresi tegas dan penuh keyakinannya pudar, disusul dengan munculnya ekspresi kaget dan keraguan.
"Ohh... okelah. Kalau begitu, hiasan ini tidak usah dibuang." jawabnya sambil menaruh hiasan tersebut di atas meja belajar.
Walaupun begitu, kerusakan sudah terjadi. Hiasan itu tidak pernah kembali ke tempatnya semula---karena dipasang dengan lem tembak yang merekat kuat di dinding. Untung wallpaper ruang kerja Ricky tidak ikut rusak. Akan tetapi, timbul rasa janggal di hati Ricky---seakan peristiwa itu membuka kedua matanya untuk meragukan kemampuan indigo Frater Damianus.
Singkat cerita, setelah mereka berkeliling rumah dan menyingkirkan benda-benda yang dianggap sarang atau magnet bagi roh jahat, Frater Damianus kembali ke ruang tamu dan membuka kitab doa di hadapannya, lalu melafalkan serangkaian doa pemberkatan dengan suara lantang---walau tidak selantang seperti awal-awal.
Ketika selesai, Frater Damianus menatap Ricky dan Ibu, terus berkata dengan penuh keyakinan, "Semua benda terkutuk sudah disingkirkan. Roh-roh jahat tidak akan berani lagi mendekat. Dalam tiga hari, saya berani pastikan, nenek kalian akan tenang---bahkan lebih sehat daripada sebelumnya!"
Dia meminta mereka untuk melaksanakan beberapa doa setiap malam sebelum tidur selama seminggu, sebagai bagian dari proses penyucian rumah dan seluruh anggota keluarga. Sebelum berdoa, kata Frater Damianus, Nenek harus diolesi air suci dan minyak zaitun (minyak krisma) di dahi, dada, dan perut.
"Ini penting! Supaya perlindungan Roh Kudus tetap menyertai Nenek kalian!" tegasnya.
Â
Frater Damianus juga menambahkan bahwa minggu depan dia akan datang lagi demi melanjutkan ritual pembersihan, sekaligus menentukan tanggal terbaik ritual kwee pang untuk Ricky dan Ibu.
Â
Sebelum dia beranjak pergi, Ibu menahannya sambil berkata, "Frater, sebelum pulang, boleh tolong doakan Nenek?"
Â
Ibu sadar, sejak tiba Frater Damianus belum sekalipun menghampiri Nenek untuk mendoakannya. Namun, secara sekilas, raut Frater Damianus mengeras---entah keberatan atau hanya ingin segera pulang. Lantas dengan langkah yang terasa enggan, Frater Damianus masuk ke kamar Nenek. Dia duduk di sebelah kasur, lalu meletakkan tangan kanannya ke dahi Nenek. Doanya sangat singkat; nyaris tergesa; seakan hanya formalitas. Entah bagaimana, selama didoakan Nenek sama sekali tidak tenang, justru makin meronta-ronta. Frater Damianus menyimpulkan dengan percaya diri, bahwa roh jahat yang mendiami tubuh Nenek sedang terbakar oleh kuasa doanya.
Usai doa, Ibu menyerahkan sekotak makanan dan amplop berisi uang senilai ratusan ribu rupiah sebagai tanda terima kasih kepada Frater Damianus. Terus, Ibu meminta Sopir Pribadi untuk mengantarnya pulang ke Jakarta Barat. Ricky menatap kepergian Frater Damianus dengan hati dan pikiran yang diselimuti oleh kejanggalan dan dilema. Ada yang salah dari Frater Damianus, tapi dia belum bisa menguraikannya.
Lantas Ricky kembali masuk ke rumah. Seketika dadanya terasa perih saat melihat kandang Burung Hantu yang sudah kosong; ditambah dengan hiasan-hiasan rumah yang dulunya setia menyambut kehadirannya dengan penuh warna dan kehangatan, kini mereka sudah tidak ada lagi. Hati kecilnya bertanya-tanya, apakah semua ini benar-benar demi kebaikan, atau justru sebaliknya.
Bersambung ke part 2.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI