Tante Inaya bersaksi, bahwa 10 tahun yang lalu saat ibunya menderita paranoid akut, seorang teman mempertemukannya dengan Frater Damianus. Saat dia berkunjung ke rumah Tante Inaya, dia mendeteksi adanya sosok jahat yang bersarang di sebuah lukisan minyak---lukisan seorang perempuan yang sedang menari. Menurut Frater Damianus, ada sesosok perempuan berwajah pucat dan berlidah panjang yang mendiami lukisan tersebut---dia suka keluar saat malam untuk mengganggu ibunya Tante Inaya, termasuk menghisap sari-sari tubuhnya hingga kurus kering seperti kondisi Nenek saat ini. Lantas Frater Damianus meminta lukisan itu segera dibuang, lalu mendoakan ibunya Tante Inaya. Setelah hari itu, ibunya Tante Inaya sudah tidak lagi paranoid, kondisi tubuhnya pulih, sampai akhirnya dia bisa pergi dengan tenang.
Kesaksian itu membuat Ibu tertarik untuk memanggil Frater Damianus. Tetapi dia masih mengharapkan Romo Matias. Akan tetapi, takdir ternyata berkata lain, Romo Matias sedang pergi memimpin ziarah rekreasi di Yogyakarta-Jawa Tengah selama setengah bulan. Ibu juga sempat menghubungi beberapa Romo yang dia kenal di gereja parokinya, tapi lagi-lagi mereka sedang ada acara dalam waktu dekat. Tanpa pilihan lain, Ibu akhirnya menghubungi Frater Damianus dari nomor yang diberikan Tante Inaya.
Singkat cerita, Ibu berhasil menghubungi Frater Damianus, dan dia langsung menyanggupinya. Mereka segera mengatur waktu kunjung di hari Minggu, sekitar jam dua siang. Rencananya Frater Damianus akan dijemput di suatu tempat di Jakarta Barat---tapi mereka harus menunggu info darinya.
Â
****
Di hari yang telah disepakati, Ricky dan Ibu menunggu kabar dari Frater Damianus untuk menjemputnya. Namun waktu terus berlalu hingga senja, tapi masih belum ada kabar darinya. Ibu mencoba menghubungi Frater Damianus lewat pesan dan panggilan, tapi nomornya tidak aktif. Hal itu membuat Ricky sangat kesal dan merasa dipermainkan. Dia lantas menyarankan agar Ibu segera membatalkan dan menjadwalkan ulang kunjungan Frater Damianus. Meski awalnya ragu, Ibu akhirnya setuju, lalu meninggalkan pesan singkat kepada Frater Damianus.
Dengan suasana hati yang kesal dan kecewa, mereka memutuskan untuk pergi makan malam di sebuah restoran dimsum di dekat rumah bersama Nenek. Di restoran dimsum itu, mereka makan malam seperti biasa. Berkat penanganan Suster yang cakap, sikap Nenek bisa terkendali sehingga tidak melakukan tindakan-tindakan rusuh yang mengundang perhatian publik.
Namun momen makan malam bersama itu seketika berubah, ketika ponsel Ibu tiba-tiba berdering. Itu panggilan dari Frater Damianus. Ibu menatap layar sebentar, lalu segera mengangkat panggilannya.
"Bu, saya sekarang sedang menuju ke sana."
"Eh... Frater? Saya sekeluarga sedang di luar. Tadi kan saya sudah bilang untuk ganti hari. Bahkan saya sudah coba hubungi Frater berkali-kali, tapi---"
"Tapi saya sudah di jalan! Dan sebentar lagi saya mau sampai di rumah Ibu!"
Sontak suasana hening sejenak. Ricky yang duduk di sebelah Ibu hanya menggeleng pelan dengan tatapan campuran antara kaget dan kesal. Tetapi, karena Ibu sungkan dan tidak ingin memperpanjang masalah, akhirnya dia membalas;
      Â
"Baiklah, kami pulang sekarang."
 Â
Lalu Ibu menutup ponsel dan menyuruh mereka untuk segera menghabiskan makanan, bayar bill, dan pulang. Ricky kecewa dengan keputusan Ibu, tapi dia tidak punya pilihan selain menuruti perintahnya.
Sesampainya di rumah, mereka mendapati seorang pria sedang berdiri di depan pagar. Dia memakai kemeja biru tua dengan tas selempang hitam di bahunya. Tubuhnya tegap, kulitnya gelap, dan ekspresinya sangat kaku. Tatapannya yang tajam dan dingin membuat kesan tidak bersahabat dan rasa tidak nyaman setiap kali menatapnya. Di tangan kanannya melingkar sebuah gelang gading, sementara di tiap jari manisnya dihiasi cincin akik besar berwarna mencolok. Andaikan orang itu tidak memperkenalkan diri sebagai Frater Damianus, mungkin mereka akan mengiranya seorang dukun.