Lantas Ibu mengajak Frater Damianus masuk ke dalam rumah. Di waktu yang bersamaan, ketika Nenek menatap wajah Frater Damianus dan hendak dibawa masuk ke rumah, dia sontak menjerit histeris dan meronta-ronta kesetanan. Mulutnya mengeluarkan kalimat acak, tidak utuh, dan memanggil nama-nama yang asing. Khawatir akan kondisi Nenek yang mengganggu atau bisa melakukan hal yang tidak diinginkan, Ibu segera menyuruh Suster untuk membawa Nenek masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu, barulah Ibu menceritakan permasalahannya kepada Frater Damianus, yang sedang duduk di sofa ruang tamu.
Frater Damianus mengangguk singkat. Lalu dia meminta selembar kertas yang ditulis nama lengkap beserta tanggal dan tahun kelahiran Ricky, Ibu, Nenek, dan---anehnya---juga Kakek yang telah meninggal. Begitu kertas itu sampai di tangannya, Frater Damianus menatapnya lama dan jemarinya meraba permukaan kertas---seperti sedang menghitung, menerawang, dan merasakan sesuatu yang tidak terlihat. Ekspresinya sangat serius, bola matanya bergerak seperti mesin scanner. Ricky memperhatikan gerak-geriknya, timbul perasaan canggung. Itu pemandangan yang berbeda---atau bisa dibilang sangat kontras---daripada gambaran rohaniwan yang selama ini dia temui; meski Ricky berupaya membangun dan mempertahankan pikiran positif---barangkali, setiap rohaniwan memiliki caranya sendiri untuk menjalankan tugasnya.
Setelah beberapa menit menatapi kertas itu, Frater Damianus memejamkan matanya sejenak. Lalu membukanya kembali dengan sorot mata yang lebih serius, menatap Ibu dan Ricky yang duduk di hadapannya. Â Â Â
"Berdasarkan hasil penerawangan dan hitung-hitungan BaZi, saya melihat ibumu (Nenek) memiliki energi yang bertentangan dengan ayahmu (Kakek). Bahkan energi ibumu juga bertentangan dengan kamu dan anakmu. Jadi, ibumu ciong dengan kalian sekeluarga! Tetapi, kamu dengan anakmu juga ciong, karena kalian berdua memiliki energi yang saling bertolak belakang."
Kata-kata itu membuat suasana jadi dingin dan berat seketika. Batin mereka seperti terhantam sesuatu, sampai-sampai tidak mampu berkata apa-apa. Lalu Frater Damianus melanjutkan penjelasan dengan penuh keyakinan, bahwa energi yang saling bertolak belakang ini seperti rantai kutukan, dan jika tidak segera diputus maka akan semakin buruk---seperti menggerogoti rezeki, merusak karier, melemahkan kesehatan, hubungan jadi tidak harmonis, hingga memancing malapetaka lainnya. Frater Damianus menekankan bahwa kutukan ini bisa menurun ke keturunan berikutnya.
Lalu, satu per satu, Frater Damianus menguraikan jenis-jenis konflik yang kerap dialami mereka---dan semua benar. Walhasil, Ibu terperanjat, napasnya memburu. Rasa takut merambat dari ujung jari hingga ke dadanya, sehingga tubuhnya mulai bergetar. Terlebih lagi, Ibu masih memegang kepercayaan tradisional Tiongkok, sehingga rasa takutnya kian menjadi-jadi. Â Â Â
"Frater... apakah ada jalan keluarnya?"
"Kalian harus diangkat anak! Harus dikwee pang! Kamu harus diangkat anak oleh Bunda Maria. Sedangkan anakmu, harus diangkat anak oleh Tuhan Yesus."
"Jadi... kapan kita harus dikwee pang? Apakah sekarang bisa?"
Frater Damianus menggelengkan pelan dan berkata, "Tidak. Saya harus melihat tanggal cantiknya dulu. Semua harus disesuaikan dengan tanggal lahir kalian, agar ritual kwee pang bisa berjalan maksimal."
Ibu mengangguk patuh, namun Ricky hanya terdiam---ada perasaan ganjil tapi juga takut. Ucapan Frater Damianus tentang rantai kutukan dan dampaknya membuatnya ikut terperosok ke lubang ketakutan. Apalagi, sebagai keluarga Tionghoa, sangat tabu untuk menolak atau meremehkan ilmu metafisika Cina yang diwariskan oleh para leluhur.