Di suatu senja dibawah pohon besar dihalaman keluarga mia Ayah berkata sambil menyerahkan penghasilannya hari itu kepada ibu,
"Bu, uang belanja minggu ini cuma segini..." suara Ayah Mia lirih sambil meletakkan beberapa lembar uang lusuh di tangan ibu.
Ibu Mia tersenyum hambar. "Nggak apa-apa, Yah. Nanti Ibu bisa atur. Kita masih bisa makan, insyaAllah." Namun begitu Ayah Mia masuk  ke rumah, senyum itu luruh. Air matanya menetes tanpa suara.
Mia yang duduk di pojok ruangan memperhatikan. Hatinya perih melihat ayah dan ibunya berjuang keras sementara hidup semakin sempit. Sejak toko kelontong tempat ayahnya bekerja bangkrut, mereka sering menumpang hutang pada saudara dan tetangga. Lima tahun terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah selesai. begitu setiap harinya.
"Bu, mulai besok aku mau bantu jualan kue, ya?" kata Mia tiba-tiba.
Ibu Mia menoleh. "Kamu masih sekolah, Nak. Jangan capek-capek---"
"Justru karena aku sekolah, Bu. Aku malu kalau tiap hari lihat Bapak murung. Aku cuma mau bantu, sekecil apa pun."
Akhirnya, dengan restu orang tuanya, Mia membawa kue-kue buatan ibunya untuk dijual sepulang sekolah.
Di pinggir jalan yang ramai, Mia berdiri dengan wajah ceria, meski panas terik menyengat. Senyumannya menjadi daya tarik bagi orang-orang yang lewat. menyapa para calon pembeli kue dan menawarkan dagangannya sambil sekali sekali menggumam asamaul husna dan bershalawat, banyak orang yang mendengarnya dan merasa tersentuh hingga membeli kue dagangan mia lalu tibalah suatu sore, seorang pemuda menghampiri setelah 20 menit lamanya dia mengamati Mia ari kejauhan dari mobil mewahnya lalu memcoba turun dan menyapa.
"Dek, kuenya berapa satu?"
"Dua ribu, Kak," jawab Mia ramah.