Mohon tunggu...
Elje Story
Elje Story Mohon Tunggu... Penjaga Toko

Penjaga Toko yang suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjalanan Emmi

11 Mei 2025   21:02 Diperbarui: 11 Mei 2025   21:41 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Canva/ Elje Story)


Di sebuah ruangan VVIP lantai dua puluh dua rumah sakit ternama dengan pemandangan kota yang indah. Ada danau yang cantik dapat terlihat dari ruangan itu, terlihat banyak burung sriti dan walet berterbangan setiap sore. Namun di ruang itu sedang terbaring seorang perempuan renta yang tidak bisa menikmati semua keindahan tersebut. Napasnya berat; terputus-putus, seolah setiap tarikan adalah perjuangan. Jarum infus menancap di tangan kanannya, mengalirkan cairan bening yang menetes pelan. Selang oksigen melintang di bawah hidungnya yang cekung. Di antara semua alat medis yang menempel di tubuhnya, hanya matanya yang masih menyimpan sisa kehidupan.

Ruang itu dingin, terlalu dingin untuk tubuh renta itu. Namun dahi sang nenek, Emmi, justru terus mengeluarkan keringat. Beberapa tetes mengalir pelan melewati pelipisnya.

Di sisi ranjang, seorang pemuda duduk setia. Ia mengusap keringat sang nenek dengan handuk kecil yang selalu dibawanya. Tangannya cekatan, namun lembut. Wajahnya lelah, namun tak mengeluh. Dialah cucu lelaki Emmi--satu-satunya anggota keluarga yang hampir selalu hadir.

Bukan karena dia yang paling peduli, tapi karena dia satu-satunya yang "masih menganggur", begitu anggapan keluarga besar. Yang lain sibuk. Ada yang di luar kota, ada yang harus mengejar rapat penting di luar negeri, ada pula yang bahkan lupa jika saat ini sang nenek sedang sakit. Sesekali mereka mengirim pesan, menanyakan perkembangan. Dan selalu bilang, "Jika saldonya habis segera telfon saja nanti kita segera transfer ulang, pakai saja kartu debitnya untuk semua kebutuhan Nenek." Lalu mereka kembali ke kehidupan masing-masing.

Sang pemuda tak pernah mengeluh. Baginya, menunggui nenek adalah satu-satunya hal yang membuatnya merasa berarti di tengah dunia yang terasa makin asing ini.

Suatu malam, saat bulan mengintip dari balik kaca jendela, Emmi menggeliat pelan. Tubuhnya berkeringat lebih banyak dari biasanya. Tangan dan kakinya bergerak gelisah, napasnya tersengal seperti sedang berlari. Lalu ia mengigau, menyebut nama-nama yang tak dikenali sang cucu.

Sang pemuda buru-buru menekan tombol pemanggil suster. Tak lama kemudian, seorang suster datang dan membantu mengganti baju sang nenek yang basah kuyup oleh keringat. Setelah semua tenang, sang pemuda duduk kembali. Emmi membuka matanya perlahan.

"Nek? Nenek mimpi buruk?" bisiknya lembut.

Emmi menatap langit-langit kamar. Bibirnya bergerak, suara lirih keluar.

"Aku... bermimpi, tapi rasanya nyata. Sangat nyata..."

Sang pemuda menggenggam tangan neneknya.

"Ceritakan, Nek. Aku di sini."

Emmi menarik napas dalam, lalu mulai bercerita. "Aku berjalan... awalnya semuanya putih. Ada kabut di mana-mana. Lembut. Tapi entah kenapa aku merasa harus terus berjalan. Tak tahu ke mana, tapi kakiku seolah otomatis melangkah terus."

Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan. "Lalu tiba-tiba, semua menjadi padang gersang. Tak ada apa-apa. Tanah retak, udara panas. Dan... aku melihat seseorang. Sosok yang... sepertinya aku kenal."

Matanya berkaca. "Kakakku. Kakakku yang meninggal saat kami masih kecil..."

Suara Emmi pecah saat mengucapkan kalimat itu. Tangannya gemetar.

"Aku panggil dia. 'Kak, tunggu aku! Ini aku, Emmi, adikmu...' Tapi dia hanya menoleh, tersenyum, dan berjalan menjauh. Tidak bicara, hanya... tersenyum. Lalu menghilang."

Tangis itu datang tanpa bisa dicegah. Pemuda itu menunduk, memeluk neneknya pelan.

"Beliau pasti sudah tenang di surga, Nek... Jangan sedih, ya."

Emmi menatap wajah cucunya itu lalu mengangguk pelan. Tapi wajahnya masih dibayangi duka yang dalam. "Aku... sudah lama sekali tak menyebut namanya. Rasanya seperti membuka pintu yang sudah lama tertutup rapat."

Lalu ia kembali melanjutkan cerita mimpinya yang masih membekas.

"Aku terus berjalan... kakiku lelah sekali. Tapi setiap kali aku hampir berhenti, aku melihat kakakku lagi. Selalu dari kejauhan. Ia hanya berdiri, tersenyum... seolah memberi semangat."

"Aku berjalan lagi... hingga kulihat di kejauhan sebuah kota. Indah. Megah. Cahaya keemasannya seperti memanggilku. Aku ingin ke sana. Aku berlari. Tapi anehnya... kota itu malah menjauh. Semakin aku mengejar, semakin jauh ia terlihat."

Sang nenek menutup mata sejenak, seolah kembali menghidupkan mimpinya itu. "Aku kelelahan. Kaki ini tak kuat lagi. Dan tiba-tiba... tanah di bawahku bergetar hebat. Aku jatuh... lalu aku terbangun. Ketakutan."

Ia membuka mata dan memandang cucunya. "Aku pikir... aku takkan kembali."

Sang cucu mencium tangan neneknya, yang mulai dingin. Tapi masih ada sedikit hangat di sana. "Nenek masih di sini,"bisik cucunya pelan.

"Kau kembali, Nek. Mungkin karena masih ada yang belum selesai di dunia ini. Masih ada yang ingin Nenek katakan, atau... seseorang yang masih ingin mendengar cerita Nenek."

Emmi tersenyum. Tipis. Lemah. Tapi dalam senyum itu ada rasa damai, seperti beban yang sedikit terangkat. "Mungkin... iya."

Malam itu, mereka tak bicara banyak lagi. Hanya diam. Namun dalam diam itu, ada kehangatan. Dan dalam kehangatan itu, ada cinta yang tak banyak kata, tapi sangat nyata Emmi rasa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun