"Aku berjalan lagi... hingga kulihat di kejauhan sebuah kota. Indah. Megah. Cahaya keemasannya seperti memanggilku. Aku ingin ke sana. Aku berlari. Tapi anehnya... kota itu malah menjauh. Semakin aku mengejar, semakin jauh ia terlihat."
Sang nenek menutup mata sejenak, seolah kembali menghidupkan mimpinya itu. "Aku kelelahan. Kaki ini tak kuat lagi. Dan tiba-tiba... tanah di bawahku bergetar hebat. Aku jatuh... lalu aku terbangun. Ketakutan."
Ia membuka mata dan memandang cucunya. "Aku pikir... aku takkan kembali."
Sang cucu mencium tangan neneknya, yang mulai dingin. Tapi masih ada sedikit hangat di sana. "Nenek masih di sini,"bisik cucunya pelan.
"Kau kembali, Nek. Mungkin karena masih ada yang belum selesai di dunia ini. Masih ada yang ingin Nenek katakan, atau... seseorang yang masih ingin mendengar cerita Nenek."
Emmi tersenyum. Tipis. Lemah. Tapi dalam senyum itu ada rasa damai, seperti beban yang sedikit terangkat. "Mungkin... iya."
Malam itu, mereka tak bicara banyak lagi. Hanya diam. Namun dalam diam itu, ada kehangatan. Dan dalam kehangatan itu, ada cinta yang tak banyak kata, tapi sangat nyata Emmi rasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI