"Ceritakan, Nek. Aku di sini."
Emmi menarik napas dalam, lalu mulai bercerita. "Aku berjalan... awalnya semuanya putih. Ada kabut di mana-mana. Lembut. Tapi entah kenapa aku merasa harus terus berjalan. Tak tahu ke mana, tapi kakiku seolah otomatis melangkah terus."
Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan. "Lalu tiba-tiba, semua menjadi padang gersang. Tak ada apa-apa. Tanah retak, udara panas. Dan... aku melihat seseorang. Sosok yang... sepertinya aku kenal."
Matanya berkaca. "Kakakku. Kakakku yang meninggal saat kami masih kecil..."
Suara Emmi pecah saat mengucapkan kalimat itu. Tangannya gemetar.
"Aku panggil dia. 'Kak, tunggu aku! Ini aku, Emmi, adikmu...' Tapi dia hanya menoleh, tersenyum, dan berjalan menjauh. Tidak bicara, hanya... tersenyum. Lalu menghilang."
Tangis itu datang tanpa bisa dicegah. Pemuda itu menunduk, memeluk neneknya pelan.
"Beliau pasti sudah tenang di surga, Nek... Jangan sedih, ya."
Emmi menatap wajah cucunya itu lalu mengangguk pelan. Tapi wajahnya masih dibayangi duka yang dalam. "Aku... sudah lama sekali tak menyebut namanya. Rasanya seperti membuka pintu yang sudah lama tertutup rapat."
Lalu ia kembali melanjutkan cerita mimpinya yang masih membekas.
"Aku terus berjalan... kakiku lelah sekali. Tapi setiap kali aku hampir berhenti, aku melihat kakakku lagi. Selalu dari kejauhan. Ia hanya berdiri, tersenyum... seolah memberi semangat."