"Kau sudah siap menjalani tahap berikutnya?" aku menatapnya serius. Ia mengangguk seraya meraba indera penciumannya.
"Saya sudah tidak sabar lagi, Dokter. Ingin segera melihat bentuk hidung saya yang baru."
***
Pada pertemuan ketiga senyumnya merekah bak bunga di musim semi. Ia tak henti bercermin. Mengagumi hidungnya yang baru, yang  kini mencuat ke atas dengan bentuk sangat bagus.
"Apa yang kau rasakan sekarang?" aku bertanya basa-basi.
"Bahagia, Dokter."
"Berarti tugasku sudah rampung."
"Belum. Saya masih ingin merapikan rahang saya. Bibir saya. Juga mata saya."
"Itu akan merusak semua karya Tuhan."
"Bukan merusak, Dokter. Anda justru telah berbuat kebaikan karena membuat orang lain bahagia."
Aku tercenung. Melumat habis kata-katanya.Â