Hati tak bisa dipaksa. Untuk menerimaku. Apa adanya. Karena ada standar lain. Pilihanmu. Dan aku tidak Sudi dibanding bandingkan.
Tak perlu bicara dalil. Tanggung jawab. Dan hidup ideal. Semua sudah kuberikan. Kutakmampu, dimampu mampukan. Untukmu. Tapi sudah tidak diakui.
Kau selalu mengeluh. Tentang kurang. Seolah aku yang habiskan sendiri. Yang kuberikan setiap hari itu apa? Kenapa tak kau hitung? Malah tidak diakui.
Semua sudah tahu. Versimu pada pendukungmu. Agar kau punya pembenaran. Salah benar harus benar. Dan salah benarku, harus salah. Jika butuh kenapa kau musuhi aku?
Bersama yang menyiksa. Menambah jiwa yang tersakiti. Aku hargai pilihanmu, dan tak perlu berharap aku kembali. Kau kira aku bodoh? Aku takut?
Semakin jauh diteruskan, semakin tersiksa. Karena hatimu bukan untuk aku lagi. Tak perlu munafik. Ngaku saja. Tak perlu drama. Cari kambing hitam. Kamu sendiri yang rugi.
Jika tak cocok, dipaksa cocok. Sampai kapan? Jauh dari berkah. Jauh dari bahagia. Tak ada syukur. Tak ada rasa nyaman. Hidup dalam penjara perselisihan. Untuk memuja ego dan kalah menang sia sia.Â
Memilih sendiri. Itu pilihan. Karena bersama hanya menambah dosa. Hati tersiksa. Karena hatimu bukan aku lagi. Tak perlu drama, sudahi saja. Saatnya berani memilih. Atau sengsara selamanya.
Malang, 12 April 2021
Oleh Eko Irawan