Mohon tunggu...
Eka Sulistiyowati
Eka Sulistiyowati Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan

aku tahu rezekiku takkan diambil orang lain, karenanya hatiku tenang. aku tahu amal-amalku takkan dikerjakan orang lain, karenanya kusibukkan diri dengan beramal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Luka] Aku, Hujan, dan Kau

11 November 2018   03:04 Diperbarui: 13 November 2018   14:28 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lepaskanlah,  maka dirimu akan merasakan kedamaian.

Sesungguhnya semua cerita akan indah pada waktunya.

===

Hujan masih mengguyur kota Surabaya dari pagi tadi.  Karena hari ini ada jadwal kuliah jam delapan pagi, mau tidak mau aku harus bergegas berangkat ke kampus. Menerobos hujan dengan payung mungil warna pink.  Ya,  aku adalah gadis melankolis yang manis. HP ku bergetar pelan saat diriku mulai memasuki halaman kampus.  Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul delapan kurang lima menit.

"Kamu dimana?" telpon dari sahabatku. 

"Udah masuk kampus,  bentar lagi nyampe ke kelas" sahutku. 

"Jangan telat lagi"

"Oke"

Karena buru-buru berjalan,  aku jadi menabrak seseorang. 

"Maaf... " ucapku. 

Lelaki berkulit putih,  tinggi sekitar 170 cm,  dengan senyum menawannya membuatku mematung. Aku hanya terhenyak dalam beberapa saat. 

"Kamu anak farmasi?" tanyanya. 

"Iya"

"Kenal sama Rinai?"

"Iya"

"Nitip dong... "

"Iya"

Lelaki dihadapanku tampak bingung menghadapi kelakuanku. 

"Maksudku nitip ini" katanya sambil menyerahkan beberapa berkas di tangnnya. 

Tersadar sejak tadi aku terbengong olehnya,  segera kuambil tumpukan map yang ada di tangannya. 

"Itu berkas pendaftar beasiswa IKA kampus"

Aku jadi teringat bahwa Rinai,  sahabatku ini sangat aktif dalam kegiatan himpunan di kampus. 

"Oke nanti aku sampaikan"

"Kamu nggak nanya nama aku siapa? "

"Eh iya... "aku meringis. 

"Panggil saja aku Ari"

"Namaku Sinar"

"Nama yang unik"

Aku tertawa pelan. Ya,  semua orang akan menganggap namaku unik.  Entah mengapa kedua orangtuaku memberikan nama itu padaku.  Mungkin saat aku lahir,  diriku bersinar seperti malaikat.  Ah,  itu hanya khayalanku saja. 

===

"Jadi kamu sudah kenalan sama Ari? " tanya Rinai ketika kami sudah menyelesaikan padatnya jadwal kuliah hari ini. 

"Dia anak jurusan apa? "

"Teknik Mesin"

"Sepertinya dia aktivis himpunan mahasiswa kampus ini"

"Iya,  malahan tahun ini dia termasuk kandidat calon ketuanya"

"Oh begitu... "

"Lah ini kenapa dari tadi membahas tentang Ari ya... "

"Rinai,  katanya di himpunan mahasiswa kampus masih kurang ya anggotanya? "

"Kamu mau ikut gabung? "

Aku mengangguk. 

Ya,  sejak bergabung dengan himpunan mahasiswa kampus itulah antara aku,  Rinai dan Ari sering terlihat bersama. 

===

Lima tahun kemudian. 

 Aku sekarang bekerja di salah satu perusahaan swasta yang berkecimpung di bidang obat-obatan di daerah Jakarta. 

Rinai masih setia tinggal di Surabaya. Ibunya yang sakit-sakitan tidak bisa dia tinggalkan hidup sendiri.  Sejak setahun lalu kepergian ayahnya menghadap Sang Illahi,  kondisi kesehatan ibu Rinai kian menurun. 

Sementara itu,  Ari bekerja di LEN (lembaga elektronika nasional)  di kota Bandung.  Dua minggu sekali aku bertemu dengan Ari.  Kadang hanya sekedar ngopi sembari diiringi cerita-cerita kecil.  Kadang juga kami ikut menikmati kemacetan kota Bandung saat weekend,  bertamasya kesna kesini.  Banyak sekali tempat wisata yang bisa dikunjungi di kota bergelar Paris van Java ini. 

Handphone ku bergetar,  ada panggilan video whatapps dari Rinai. 

"Sinarrrr... "

"Hai Rinai., lagi apa? "

"Abis nganter ibu ke rumah sakit.  Tekanan darahnya sempat tinggi"

"Rawat inap apa rawat jalan?  "

"Ini cuman minta obat saja dari dokter.  Ibu nggak mau nginep di rumah sakit. Maunya rawat jalan saja"

"Ooo... "

"Ari mana? "

Lelaki yang berada di samping Sinar pun menampakkan batang hidungnya. 

"Hai Rinai,  kamu yang kuat ya... "

"Haha... Iya Ari.  Nitip jagain Sinar ya... Dia orangnya suka nyasar"

"Enak saja" aku sewot.  Sementara Ari masih cool dengan senyum manisnya. 

"Kamu juga hati-hati di sana,  jaga kesehatan" kata Ari bijak. 

Diantara kami bertiga memang Ari selalu bersikap dewasa,  padahal kami seumuran. Sifatnya yang kebapakan itulah yang membuatku nyaman di dekatnya.  Apalagi sebagai anak pertama aku tidak punya kakak tempat untuk bermanja. 

"Ih,  kalian seru sekali bermain di kebun strawberry.  Lain kali,  kalau ada kesempatan aku ikut ya... "

"Iya,  tengoklah kami" kataku menimpali.  Wanita yang bernama Rinai membalas dengan senyuman.  

"Eh,  aku off dulu ya,  mau ke kamar ibu" kata Rinai. 

"Bye Rinai... "

===

Ini sudah sebulan sejak aku bertemu dengan Ari di daerah perkebunan strawberry.  Kali ini aku tidak ke Bandung.  Tapi Ari yang akan ke Jakarta.  Aku menunggu kedatangannya di stasiun Gambir.  Sementara di luar stasiun,  hujan deras mengguyur kota Jakarta. 

Kurapatkan kembali jaketku.  Ternyata meminum secangkir kopi pun belum bisa menghangatkan badan. 

"Sinarrr... " sapa Ari. 

"Hai... " kupersilakan lelaki tersebut duduk di hadapanku, " teh atau kopi"

"Teh aja deh" katanya. 

Segera kupesankan teh manis ke pelayan cafe. 

"Tumben mau mau mampir melipir ke Jakarta" godaku, "kan biasanya paling males kalau disuruh ke Jakarta"

"Ada perlu sama kamu Sinar"

Sejak semalam aku tidur tak tenang memikirkan hal apa yang begitu  penting hingga Ari memutuskan untuk menemuiku di Jakarta. 

"Dari semalam Jakarta hujan terus ya. " tampak Ari mengalihkan kegugupannya dengan mencari topik lain untuk dibicarakan. 

"Iya,  tapi sekarang lebih deras hujannya" kuseruput sisa kopiku yang ada di cangkir. 

Ari menatapku.  Tatapan yang belum berubah.  Masih sama seperti lima tahun yang lalu,  saat pertama kali aku bertemu dengannya.

Ari mengambil sesuatu dari ranselnya. 

"Ini spesial buat sahabatku" katanya mengeluarkan sepucuk undangan. 

Gawat, apakah Ari akan menikah.  Bukankah selama ini dirinya tidak punya kekasih.  Lalu siapa wanita  itu,  apakah pilihan ibunya? 

Aku menerima undangan yang diberikannya padaku. Terus terang aku patah hati.  Lelaki yang kukagumi sedari lima tahun yang lalu akan secepat ini menikah. 

"Acaranya minggu depan,  usahakan hadir ya" katanya dengan suara datar. 

Kubuka undangan  pernikahan  tersebut. 

Matahari menikah  dengan Rinai Hujan. 

Sejak kapan kedua sahabatku itu merajut kisah asmara.  Bukankah Rinai tidak pernah menganggap Ari lelaki yang istimewa. 

"Mengapa Rinai? " tanyaku

Ari mengernyitkan dahi, "Maksudnya?"

"Maksudku aku tidak pernah melihat kalian romantis satu sama lain" ucapku gelagapan.  Tentu saja itu pertanyaan terbodoh yang pernah keluar dari mulutku. 

"Oh ya..  Dua minggu yang lalu kedua orangtuaku menginginkan agar aku segera menikah.  Dari dulu aku selalu mengagumi semangat juang Rinai.  Lahir dari keluarga tidak mampu,  berjuang lulus kuliah dengan mencari beasiswa kesana kemari,  lalu sekarang dengan telaten merawat ibhnya.  Tentunya dia kandidat terbaik buat jadi istri,  bukan? "

Dadaku terasa begitu sesak.  Hawa dingin tak lagi kurasakan.  Kesakitan luar biasa merayap dalam hatiku. 

"Ya"

"Kamu jadi kan datang ke Surabaya"

"Kuusahakan"

"Ayolah Sinar.  Kita sudah bersahabat cukup lama.  Aku harap kamu bisa datang ke pernikahan sederhana kami"

"Ya"

===

Mungkin memang benar

Matahari takkan bisa bersatu dengan Bulan

Matahari menjaga siang

Bulan menemani malam

Tapi Hujan bisa datang kapanpun dia suka

Kali ini Hujan dan Matahari bersatu

Meninggalkan segurat warna yang indah

Pelangi

Akupun menepati janjiku.  Aku menghadiri pernikahan kedua sahabatku.  Aku melihat lelaki yang kucintai,  Matahari.  Aku menatap sahabatku yang sedang merona bahagia,  Rinai Hujan. 

Namaku Sinar Bulan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun