Mohon tunggu...
Efendi Muhayar
Efendi Muhayar Mohon Tunggu... Penulis - Laki-laki dengan pekerjaan sebagai ASN dan memiliki hobby menulis artikel

S-2, ASN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pantaskah Indonesia Menjadi Negara Gagal?

12 Agustus 2020   23:05 Diperbarui: 12 Agustus 2020   23:25 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selain itu ada juga  ada juga pasal makar  yang hukumannya sangat berat dan diancam  hukuman seumur hidup hingga pidana mati. Masyarakat menilai bahwa pasal ini adalah pasal karet karena tidak mensyaratkan  adanya serangan yang menjadi latar belakang  kata "makar'. Tentu saja hal ini berpotensi mengancam kebebasan berpendapat dan ini  adalah bagian  dari tanda-tanda pemerintahan otoriter.

Permasalahan lain juga dapat disaksikan saat ini, di antaranya dengan diterbitkannya Perpu tentang Ormas ataupun pemblokiran akses internet di Papua sejak 2015 sampai 2020. Hal ini menandakan ancaman kebebasan yang  terus  meningkat. 

Demikian pula dalam masalah ideologi, yang masih dalam pandemic, pemerintah dan DPR tidak malu-malu  ingin membahas RUU tentang  Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dan juga ingin membahas kembali RUU  Pemasyarakatan yang sudah ditolak oleh rakyat karena dianggap akan memanjakan koruptor. Selain itu, pemerintah juga masih  ingin melanjutkan pembahasan RUU tentang Cipta Kerja di tengah gencarnya penolakan dari masyarakat dan civil society.

Dibidang ekonomi, saat ini kita menyaksikan bagaimana BUMN menjadi arena bancakan para penguasa. Dengan dalih mengamankan  kepentingan nasional atau menjalankan  program pembangunan, perusahaan negara kerap dipaksa mengabaikan  kalkulasi bisnis dan merugi, dan ketidakjelasan  indicator kesuksesan mereka dimata pemegang saham. 

Meski merugi secara finansial, direksi tetap bisa  aman selama kepentingan  komisaris terlayani dengan baik. Sebaiknya, jika komisaris terusik secara politik, direksi yang sukses dan membawa profit bisa terpental. Kepentingan komisaris pun  tidak seragam, karena sebagai utusan politik, mereka tentu  membawa warna masing-masing. Tidak semuanya menempatkan pertumbuhan perusahaan dan  kemampuannya menghasilkan keuntungan sebagai prioritas utama.

Akibat dari politisasi BUMN tersebut saat ini dapat dilihat terdapat ratusan jabatan rangkap BUMN. Hal ini terbukti berdasarkan laporan Ombudsman yang ditulis dalam Koran  Tempo tanggal 29 Juni 2020, terdapat 397 komisaris terindikasi rangkap jabatan. Rangkap jabatan ini bertentangan dengan  sejumlah regulasi, dapat menimbulkan konflik  kepentingan, serta kontra produktif karena BUMN tidak diisi oleh sosok yang  sesuai dengan kompetensi.

Sementara itu, selain masalah BUMN sector UMKM yang selama  masa krisis tahun 2008 lalu telah membuktikan ketangguhannya,  saat ini menjadi elemen penting bagi perekonomian domestik karena kontribusinya terhadap PDB yang mencapai 60% dan serapan tenaga kerjanya juga mencapai 96%. 

Indonesia memiliki sekitar 58 juta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), dan mencapai 99.9% dari total unit usaha yang tersebar di seluruh negara ini. Ini adalah usaha-usaha yang dimiliki dan dijalankan oleh para petani, nelayan, perempuan di pelosok daerah, tukang sayur di pasar tradisional dan semacamnya. Kebanyakan dari mereka tidak memiliki akses ke pinjaman bank. 

Berdasarkan data, lebih dari 50 juta UMKM di Indonesia dinilai tidak bankable dan dari Rp 4.505 triliun kredit yang dikucurkan oleh bank umum di Indonesia tahun lalu, kurang dari 20 persen atau sekitar Rp 900 triliun saja yang ditujukan bagi UMKM. Angka-angka ini menunjukkan bahwa kebanyakan usaha kecil di Indonesia masih tidak dilirik oleh sektor perbankan. 

Jika mengacu pada pandangan Daron Acemoglu dan James A. Robinson, maka   kondisi Indonesia yang telah dijelaskan di atas tentunya memberi  gambaran tentang ke arah mana  perjalanan hidup Indonesia. 

Jika Indonesia ingin menghindari sebagai negara  gagal, maka pemerintah memiliki peluang untuk mereformasi demokrasi ekonomi  dan politik secara mendasar. Pemerintah perlu membagun regulasi yang berkeadilan, mekanisme pasar yang sehat serta  akses terbuka bagi UMKM. Reformasi bisa berbentuk revisi berbagai UU dan terobosan kebijakan langsung dari negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun