Mohon tunggu...
Efendi Muhayar
Efendi Muhayar Mohon Tunggu... Penulis - Laki-laki dengan pekerjaan sebagai ASN dan memiliki hobby menulis artikel

S-2, ASN

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pantaskah Indonesia Menjadi Negara Gagal?

12 Agustus 2020   23:05 Diperbarui: 12 Agustus 2020   23:25 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertanyaannya adalah, apakah Indonesia yang juga pernah mengalami penjajahan dapat dikatagorikan sebagai negara gagal atau negara yang sedang menuju kea arah kegagalan. Mari bersama kita bahas tentang masalah ini dilihat dari beberapa hal yang berkaitan dengan teori yang disampaikan oleh Acemoglu dan dan Robinson, diantaranya berkaitan dengan masalah demokrasi, hukum, ekonomi dan lain-lain.

Melihat Indonesia tentunya kita melihat sebagai sebuah negara yang memiliki potensi yang sangat basar untuk berkembang.  World Bank dalam sebuah laporannya tahun 2019 menegaskan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan  yang beragam, terdiri dari lebih dari 300 kelompok etnis dan merupakan ekonomi terbesar di Asia Tenggara. 

Indonesia memiliki populasi keempat terbesar di dunia, ekonomi ke-10 terbesar terkait paritas daya beli, ke-14 terbesar dalam luas wilayah, dan salah satu anggota G-20. Dari tahun 2000 hingga 2010, Indonesia mempertahankan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 6% yang sebagian besar didorong oleh kekayaan basis sumber daya alamnya. 

Pertumbuhan berkesinambungan tersebut memungkinkan negara ini menjadi sebuah negara berpendapatan menengah, menekan tingkat kemiskinan dari 70% pada 1984 menjadi kurang dari 10%. 

Dengan keberagaan dan sumberdaya alam yang begitu besar, Indonesia  bisa menjadi negara besar yang makmur dapat dilihat dari apakah terdapat struktur dan budaya dari demokrasi ekonomi dan  politik yang mendistorsinya, misalnya dapat kita lihat pada UU Minerba, UU KPK dan seterusnya.

Permasalahan demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia sudah berlangsung dalam 10 tahun  terakhir. Bahkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) pernah beberapa kali membuat laporan bahwa indeks demokrasi Indonesia mengalami penurunan yang dikhawatirkan akan menimbulkan kembali iklim otoriter. 

Penurunan tersebut dapat terjadi karena masih tingginya ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang  mengakibatkan kebabasan berkumpul, berserikat dan berpendapat. 

Selain itu, ancaman atau penggunaan kekerasan oleh kelompok agama terkait ajaran agama serta pernyataan pejabat yang diskriminatif dalam gender, etnisitas, dan kelompok rentan lainnya. Tindakan represif dan pembatasan ruang  gerak masyaralat sipil dalam demokrasi juga terjadi pada pembela Hak Azasi Manusia (HAM) yang mendalami masalah lingkungan hidup dan agrarian.

Faktor ini pula yang  ikut mendukung  demokrasi Indonesia dianggap masih merupakan demokrasi yang procedural dan bukan demokrasi deliberative dimana masyarakat sepenuhnya  terlibat sebagai  aktor dinamis demokrasi.

Substansi demokrasi belum tercermin pada  demokrasi procedural yakni ketika hanya terjadi penguatan pada  lembaga-lembaga demokrasi seperti partai politik dan lembaga kekuasaan di eksekutif, yudikatif dan legislative.

Akibatnya yang menjadi perhatian adalah prosedur demokrasi, tahapan pemilihan dan infra struktur politik formal, sementara perlindungan HAM dan kebebasan sipil melemah. Jadi, demokrasi belum menjadi suatu  yang dipraktekkan  secara substantive ketika kebebasan sipil diabaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun