Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Mati (1.Kampung Keramat)

29 Januari 2022   15:18 Diperbarui: 29 Januari 2022   15:31 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto diolah pribadi dengan pictsart app

Pullong atau teluh bagi sebagian orang diluar kampung kami mengenalnya. Mendengarnya saja sudah menjadi kengerian bagi masyarakat kampung. Entahlah, sudah yang keberapa kalinya terlihat dalam sebulan terakhir ini. Lelehan api membara melintas dengan gagahnya melewati atas atap rumbia rumah kami. 

 Seperti kebiasaannya. Setelah maghrib emak akan duduk di teras luar rumah yang berlantai papan menunggu waktu masuk Isya. Aku seringkali menemaninya menikmati keheningan awal malam. Dimana bunyi jangkrik dan berbagai serangga malam mulai gaduh bersahutan. Suara alam yang sepertinya selalu gembira, setia dan tanpa lelah menemani kesunyian malam-malam kami.

 Maghrib saat itu, masih tersisa semburat rona merah di ufuk barat. Malam ini terlihat pekat karena beberapa bagian langit berselimut awan mendung. Kami saling membisu.

Bagiku kilauan cahaya pullong saat melintas mengudara, berbunyi seperti berisik suara anak ayam, adalah pertunjukan hiburan malam berkelas gratis,menarik dan sayang bagiku untuk dilewatkan. Teluh yang dikirim oleh seseorang yang dihatinya sedang bergelora akan iri dan kebencian.

 Apapun alasannya, itu adalah sebuah kejahatan. Seorang yang telah tega dan bangga mengirimkan suatu penyakit yang tidak akan bisa disembuhkan. Orang yang terkena, berangsur akan terlihat badan yang mengurus, sakit-sakitan, batuk dan akhirnya hanya bisa terbaring menunggu untuk meregang nyawa. Ditambah memang derajat kesehatan orang-orang kampung kami yang memang sudah buruk serta minim pertolongan oleh tenaga medis karena lokasi yang sulit dijangkau.

 Tanjung Buih nama emak. Biasa dipanggil Mak Tanjung. Akhir-akhir ini sering kulihat murung dari pada tersenyum bahagia. Wajahnya seperti menerawang sangat jauh, bahwa esok akan menjadi hari-hari yang sangat berat buatnya. Dengan balutan sehelai kain selendang dikepala yang disilang kiri dan kanan. 

Hanya sekadarnya saja untuk menutup rambutnya yang sudah mulai memutih karena uban agar tetap rapi dan tidak berantakan saat angin bertiup. 

Demikianlah penampilan keseharian emak. Umurnya sekitar 50 tahunan tetapi sangat aktif bergerak. Sebagai seorang pekerja keras tampak jelas terlihat guratan-guratan garis umur dikeningnya. Meski demikian, rona cantiknya disaat belia tetap tampak tegas kelihatan diusianya yang telah setengah abad. 

Hal yang paling kusenangi adalah saat beliau tersenyum lebar dimana deretan giginya kelihatan berjejer rapi. Itu berpadu dengan bentuk wajah perseginya disertai kenampakan adanya tonjolan yang kentara dan serasi pada tulang pipi dan dagunya.

 Menurutku tiada hal lain yang sangat membuat emak gundah gulana. Yaitu belum juga kembalinya ayah dan satu-satunya adik lelakiku. Mereka pergi berjuang mencari penghidupan yang lebih baik di PeTe[2] sejak dua tahun yang lalu. 

Jamak orangtua dikampungku membawa anak-anak lelakinya bahkan terlihat miris ada perempuan belia usia 12 tahun harus pergi bekerja mengadu nasib keberuntungan ke PeTe di luar pulau. Kebanyakan mereka bekerja sebagai penebang dengan menggunakan gergaji mesin sekaligus sebagai penarik dan pengumpul kayu bulat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun