BAB VIII (Hari ulang tahun yang sunyi)
Kita pernah berdampingan dalam hidup. Sekarang, aku berdiri sendiri di antara batu nisan dan bunga, tetap menyebut namamu, seolah kamu masih disini.
-Ara-
***
Ulang tahun biasanya dirayakan dengan tawa, kejutan, dan kue manis. Tapi tidak hari ini. Tidak untuk seseorang yang hanya bisa Ara temui lewat batu nisan.
Hari itu, langit tampak lebih pucat dari biasanya. Udara pagi membawa aroma tanah basah yang samar.
Dan Ara datang, tepat di hari ulang tahun Dika setelah setahun kepergiannya.
Di tangannya, ia membawa sebuah kue ulang tahun kecil dengan lilin angka 26, dan sebuket bunga pikok yang dibelinya semalam sepulang kerja. Bunga favorit Dika, katanya warnanya secantik Ara. Di sela jemarinya, terselip surat yang ia tulis semalam, dengan kata-kata yang tak pernah sempat ia ucapkan langsung.
Pusara Dika berdiri tenang di tengah barisan makam lain. Tak ramai, hanya sunyi. Tapi baginya, inilah satu-satunya tempat di dunia yang masih menyimpan jejak keberadaan Dika.
Ara berjongkok perlahan, tak banyak yang ia lakukan selain duduk tenang di depan pusara, menatap batu nisan yang tertulis jelas.
Nama: Dika Fauzan
Lahir: Jakarta, 13 Juni 1999
Wafat: Jakarta, 14 Juni 2024
Diantara dua tanggal itu, ada seluruh hidup yang membuat Ara jatuh cinta dalam diam.
"Selamat ulang tahun, Dika..." bisiknya nyaris tak terdengar, seolah takut suaranya mengganggu keheningan.
"Kuenya sederhana. Tapi isinya doa." Ara tersenyum kecil.
"Aku tahu kamu nggak bisa lagi potong kuenya sendiri, jadi hari ini biar aku yang makannya. Sendirian."
Ia terkekeh pelan, bukan karena lucu, tapi karena tak tahu harus bereaksi seperti apa. Lalu tanpa diminta, air matanya jatuh, pelan. Seolah ingin mengatakan sesuatu yang tak sanggup ia ucapkan.
Ara meletakkan kue di atas batu datar di sisi makam. Lilinnya dinyalakan. Api kecil itu berkedip, seolah sadar bahwa cahaya itu hanya untuk dikenang, bukan untuk dirayakan.
"Tahun lalu, aku masih berharap kamu bangun di pagi hari ini, marah-marah karena aku lupa ngucapin ulang tahun. Tapi nyatanya, aku cuma bisa datang ke sini. Bawa kue yang nggak akan pernah kamu cicipi."
Tangannya mengusap perlahan sisi batu nisan yang dingin.
Sejenak, ia menutup mata. Hening.
Ara tak berbicara banyak. Hanya duduk diam cukup lama, seolah ingin berbagi keheningan yang dulu pernah mereka bagi di sore-sore panjang.
Lalu, ia mengeluarkan surat dari dalam tasnya.
Surat itu dilipat rapi, ditulis dengan tinta hitam di atas kertas berwarna cokelat tua.
Tanpa membacanya dengan suara, Ara meletakkan surat itu tepat di samping nisan, ditindih dengan batu kecil agar tak diterbangkan angin.
"Isinya cuma satu tahun yang aku jalani tanpa kamu. Tentang hari-hari yang sepi, dan malam-malam yang aku lalui sambil bertanya kenapa kamu pergi sebelum aku sempat bilang semuanya."
Ara terdiam. Matanya menatap tanah di depannya, tapi pikirannya jauh.
Mengulang kenangan ulang tahun Dika bertahun-tahun lalu.
Saat mereka masih sekolah. Saat Dika pernah pura-pura lupa hari ulang tahunnya sendiri hanya agar Ara mengucapkannya duluan.
Sekarang semua itu tinggal ingatan.
Ara menghela napasnya pelan.
"Kaa... surat-surat itu..." ucapnya, suaranya nyaris tenggelam dalam hening yang menggantung di antara mereka.
Ia menunduk, membiarkan pikirannya melayang kembali pada setiap amplop yang datang tanpa suara. Entah sudah berapa banyak. Entah dari mana. Tapi satu hal yang pasti, semuanya ditulis oleh tangan yang sama. Tangan yang pernah menggenggamnya saat takut.
Tangan yang kini, bahkan namanya pun hanya tinggal gema dalam doa.
Tulisan tangan Dika.
Gaya bahasanya. Kalimat-kalimat yang begitu akrab, dan justru karena itu, menyakitkan. Setiap huruf terasa hidup. Seolah Dika masih di sini. Masih bicara padanya. Masih menatapnya dari kejauhan yang tak terlihat.
Padahal, tanggal di sudut kertasnya sudah lama berlalu.
Beberapa bahkan lebih tua dari ingatannya.
Tapi isinya terlalu tepat, terlalu kini, seolah Dika tahu apa yang sedang Ara rasakan. Hari ini. Sekarang.
"Kenapa kamu kirim semua ini setelah kamu nggak ada?"
Ara terdiam. Suaranya hanya menggantung di udara, tanpa tujuan, tanpa balasan.
"Kenapa bukan waktu kita masih bisa saling bicara? Apa kamu sengaja nunggu aku cukup kuat buat membaca semuanya sendirian?"
Ia menggeleng pelan. Bukan karena kecewa, bukan pula marah. Tapi karena dadanya terlalu penuh oleh rindu yang tak punya arah, oleh tanya yang tak kunjung menemukan jawab.
Surat-surat itu datang satu per satu, diam-diam. Tanpa nama pengirim. Tanpa petunjuk.
Hanya tiba-tiba ada di atas meja, terselip di antara buku-bukunya, di bawah bantal, di laci kamar, bahkan di sekolah, tempat yang sudah lama ia tinggalkan.
Seolah ada yang tahu ke mana langkahnya akan pergi. Seolah seseorang atau mungkin Dika sendiri masih mengawasinya dari kejauhan yang tak masuk akal.
Dan setiap surat itu seperti memaksanya untuk kembali. Bukan pada masa lalu, tapi pada versi dirinya yang dulu. Versi yang pernah ia kubur bersama kepergian Dika.
"Siapa yang mengirimkannya, Ka? Siapa yang kamu percaya untuk meneruskan semua ini? Karena jelas bukan kamu."
Ia menarik napas pelan.
Ada bagian dari hatinya yang takut mencari tahu. Tapi ada juga bagian yang merasa ini belum selesai. Bahwa Dika meninggalkan teka-teki terakhir yang harus dia pecahkan.
Sebelum pulang, Ara berdiri pelan. Menatap lilin yang telah padam karena angin.
Ia tidak meniupnya. Tidak memotong kuenya. Ia hanya memandang langit, lalu berkata lirih.
"Tahun depan, aku datang lagi. Bawa cerita baru. Tapi kamu tetap alasannya."
Hari itu, tidak ada nyanyian. Tidak ada pesta.
Tapi cinta tetap tinggal di tanah sunyi yang menyimpan seseorang yang pernah membuat Ara merasa hidup.
Ara melangkah pergi, meninggalkan pusara dengan langkah pelan, seorang laki-laki berdiri di sisi jalan setapak, mengenakan jaket gelap, wajahnya tertunduk.
Sesaat tatapan mereka bersitatap.
Tak ada sapaan. Tak ada senyuman.
Hanya pandangan sekilas, tapi cukup untuk membuat dada Ara terasa sesak.
"Aku pernah lihat dia, tapi di mana ya? Wajah itu, seperti bagian dari masa lalu yang samar tapi belum selesai."
Ara melangkah menjauh. Tapi perasaan aneh itu tetap tinggal.
Dan entah kenapa, ia merasa, jawaban dari semua pertanyaannya. Tentang surat-surat itu, tentang pesan terakhir Dika, ada di balik tatapan laki-laki asing yang berdiri diam di tengah sunyi.
***
Langit pagi masih abu-abu ketika Ara membuka pagar rumah perlahan.
Sepi. Suara burung dari kejauhan terdengar samar, bercampur aroma masakan dari dapur-dapur tetangga yang mulai hidup.
Ara melepas sepatunya di teras. Membenarkan lipatan jaket yang dipakai seadanya. Helaan napasnya berat, masih ada sisa keheningan makam yang belum lepas dari pikirannya.
Baru saja ia hendak melangkah masuk, suara ibunya terdengar dari arah ruang tengah.
"Eh? Tumben, Ra."
Ibunya melongok dari balik pintu dapur, masih mengenakan jaket olahraga dan handuk kecil di leher.
"Kamu ke mana pagi-pagi gini? Hari libur loh. Biasanya juga masih tidur."
Ayahnya menyusul keluar, membawa dua botol air mineral, ikut memandang dengan dahi sedikit mengernyit.
"Tadi Mamah kira kamu masih tidur. Pas kita pulang jogging, malah pintu udah dikunci."
Ara tersenyum kecil, meletakkan tasnya di kursi dekat rak sepatu.
"Ke makam Dika." jawabnya lirih, tapi cukup terdengar.
Kedua orangtuanya saling pandang sejenak. Tak ada pertanyaan lanjutan, hanya keheningan yang dipenuhi pengertian.
Ibunya mendekat, menyentuh lengan Ara dengan lembut. "Hari ulang tahunnya ya hari ini?"
Ara mengangguk. "Aku bawa kue kecil. Sama bunga favorit dia."
Ayahnya tak banyak bicara. Ia hanya menepuk pelan bahu anak perempuannya, kemudian berjalan ke dapur lagi.
Ibunya tetap berdiri di dekat Ara, memandangi wajah putrinya yang tampak sedikit lebih pucat dari biasanya.
"Kamu nggak apa-apa, Ra?"
Ara menggeleng pelan, berusaha tersenyum. "Nggak apa-apa, Mah. Cuma agak lelah."
Padahal hatinya masih berat, dan pikirannya tak berhenti berputar. Ia belum jujur tentang semua surat yang selama ini ia temukan, yang entah dari siapa, entah kenapa muncul satu per satu.
Ia belum tahu bagaimana harus menjelaskan semuanya. Bahkan kepada orangtuanya sendiri.
"Kalau gitu sarapan dulu, ya. Mamah tadi beli bubur," ucap ibunya lembut, mencoba menghibur.
Ara mengangguk kecil. "Iya, Mah. Tapi aku ke kamar dulu bentar, mau ganti baju."
Tanpa menunggu jawaban, Ara segera melangkah menuju kamarnya. Ia tutup pintu pelan, lalu menyandarkan punggungnya di balik daun pintu yang kini memisahkannya dari dunia luar.
Ia menunduk, menggenggam bagian bawah bajunya bukan karena ingin menggantinya, tapi karena tangannya gemetar tak sadar.
Bukan karena kedinginan. Tapi karena rasa penasaran yang belum sempat reda sejak di makam tadi.
Sosok itu.
Laki-laki asing yang berdiri di jalan setapak, diam di antara bayang-bayang pohon dan taburan kelopak kamboja yang berguguran pelan seperti salju yang salah musim.
Pakai jaket abu, kerahnya dinaikkan, menutupi sebagian wajah yang sengaja ditundukkan.
Seolah tahu, dirinya tak boleh dikenali. Tapi justru karena itulah, karena sembunyi itu, perasaan Ara semakin kuat. Aku pernah melihatmu.
Bukan teman sekelas. Bukan keluarga Dika. Bukan siapa-siapa yang pernah duduk dalam lingkaran hidupnya secara nyata.
Tapi matanya...
Mata itu, seperti pernah menyelami diamnya dari jauh.
Pernah menatapnya ketika ia tidak sadar ditatap. Pernah mengamatinya, bukan dengan cara yang ingin memiliki, tapi dengan cara seseorang yang terlalu paham luka tapi memilih diam.
Dan rasa itu tidak hilang.
Bahkan setelah sosok itu melangkah cepat menjauh, menghilang di balik kelok kecil pemakaman.
Ia tak meninggalkan apa pun.
Tak sepatah kata. Tak secarik surat.
Hanya firasat. Yang kini menggantung di antara napas dan detak jantung yang mulai tak teratur.
Ara duduk di tepi ranjang. Jari-jarinya membuka laci kecil di samping tempat tidur, tempat semua surat ia simpan. Tak bertanda. Tapi semuanya berisi sesuatu yang hanya Dika tahu.
Kalimat-kalimat yang mengerti isi hatinya, seakan ditulis oleh seseorang yang pernah mengukur sedihnya dari jarak dekat.
Hari ini, surat itu tak datang.
Yang datang justru sesuatu yang lain.
Seseorang. Yang mungkin tahu lebih banyak dari yang seharusnya.
Ara menggigit bibir bawahnya. Tak sadar.
Hatinya gemetar pelan, bukan karena takut, tapi karena firasat yang selama ini cuma berbisik hari ini seperti mulai bersuara.
Apakah ini kebetulan?
Atau justru awal dari sebuah pintu yang selama ini tertutup rapat?
Ia menatap keluar jendela.
Langit yang tadi pagi menggantung kelabu, kini mulai membuka dirinya perlahan. Awan-awan gelap bergeser, dan cahaya matahari akhirnya menyelinap masuk, jatuh pelan ke dalam kamarnya. Lembut, hangat, seperti tangan halus yang mencoba menenangkan hati yang masih basah oleh tanya.
Tapi tenang itu tak benar-benar hadir di dadanya.
Ada sesuatu yang menggeliat di dalam. Sebuah rasa ingin tahu yang sudah terlalu lama dipendam dan kini mulai tumbuh tak bisa dikendalikan.
"Siapa kamu sebenarnya?" bisiknya dalam hati. "Dan kenapa aku merasa seperti sedang diperhatikan dari jauh lagi? Seperti dulu. Seperti sebelum semuanya runtuh."
Ara menyandarkan tubuh ke ranjang. Mengusap wajahnya pelan, seolah ingin menghapus keraguan yang makin melekat.
Tapi bayangan pria itu kembali muncul.
Tatapan matanya. Caranya berdiri.
Dan, yang paling mengganggu cara dunia di sekitar Ara tiba-tiba terasa sepi saat pria itu ada.
Pikirannya berkelana ke masa-masa terakhir bersama Dika.
Ke surat-surat yang datang setelah kepergiannya.
Surat yang tak bicara tentang kematian, tapi tentang penuntunan. Tentang petunjuk. Tentang sesuatu yang masih ingin disampaikan.
Dan malam ini, setelah melihat sosok itu, semuanya terasa berubah.
"Kalau kamu memang nitipin semua ini ke seseorang, Ka..." bisiknya, hampir seperti doa yang tercekat.
"...siapa dia? Dan kenapa baru sekarang aku diberi semua ini, setelah kamu pergi?"
Diam. Tak ada yang menjawab.
Hanya suara angin dari sela jendela yang terbuka sedikit.
Dan dalam keheningan itulah, Ara mulai sadar. Mungkin, ini bukan tentang menemukan siapa pengirim surat-surat itu. Tapi tentang menemukan sisi lain dari Dika, yang selama ini tak pernah benar-benar ia kenali.
---
Untuk Dika, di hari ulang tahunmu.
Dika,
Hari ini ulang tahunmu. Tapi tidak ada kue, tidak ada lilin, tidak ada kamu.
Aku masih di sini...
Di tempat yang sama.
Dengan rindu yang tidak pernah selesai dan kata-kata yang selalu terlambat.
Kamu tahu, aku pernah terlalu pengecut untuk berkata jujur.
Dan sekarang, aku menyesalinya dalam diam yang menyesakkan.
Aku takut...
Takut jika aku mengaku, segalanya akan berubah.
Tapi ternyata, semua tetap berubah.
Tanpa sempat aku mengatakan apa pun.
Sekarang, aku hanya bisa menulis.
Pada kertas yang basah oleh angin dan sepi.
Pada ruang kosong yang tak pernah bisa lagi kamu isi.
Aku sayang kamu. Dari dulu.
Dari sebelum aku tahu namanya rindu,
dari sebelum aku mengerti artinya kehilangan.
Selamat ulang tahun, Dika.
Aku belum bisa melupakanmu.
Mungkin memang tidak akan pernah.
Karena kamu masih hidup, di sini,
di dalam aku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI