Tapi matanya...
Mata itu, seperti pernah menyelami diamnya dari jauh.
Pernah menatapnya ketika ia tidak sadar ditatap. Pernah mengamatinya, bukan dengan cara yang ingin memiliki, tapi dengan cara seseorang yang terlalu paham luka tapi memilih diam.
Dan rasa itu tidak hilang.
Bahkan setelah sosok itu melangkah cepat menjauh, menghilang di balik kelok kecil pemakaman.
Ia tak meninggalkan apa pun.
Tak sepatah kata. Tak secarik surat.
Hanya firasat. Yang kini menggantung di antara napas dan detak jantung yang mulai tak teratur.
Ara duduk di tepi ranjang. Jari-jarinya membuka laci kecil di samping tempat tidur, tempat semua surat ia simpan. Tak bertanda. Tapi semuanya berisi sesuatu yang hanya Dika tahu.
Kalimat-kalimat yang mengerti isi hatinya, seakan ditulis oleh seseorang yang pernah mengukur sedihnya dari jarak dekat.
Hari ini, surat itu tak datang.
Yang datang justru sesuatu yang lain.
Seseorang. Yang mungkin tahu lebih banyak dari yang seharusnya.
Ara menggigit bibir bawahnya. Tak sadar.
Hatinya gemetar pelan, bukan karena takut, tapi karena firasat yang selama ini cuma berbisik hari ini seperti mulai bersuara.
Apakah ini kebetulan?
Atau justru awal dari sebuah pintu yang selama ini tertutup rapat?
Ia menatap keluar jendela.
Langit yang tadi pagi menggantung kelabu, kini mulai membuka dirinya perlahan. Awan-awan gelap bergeser, dan cahaya matahari akhirnya menyelinap masuk, jatuh pelan ke dalam kamarnya. Lembut, hangat, seperti tangan halus yang mencoba menenangkan hati yang masih basah oleh tanya.
Tapi tenang itu tak benar-benar hadir di dadanya.
Ada sesuatu yang menggeliat di dalam. Sebuah rasa ingin tahu yang sudah terlalu lama dipendam dan kini mulai tumbuh tak bisa dikendalikan.