Sekarang semua itu tinggal ingatan.
Ara menghela napasnya pelan.
"Kaa... surat-surat itu..." ucapnya, suaranya nyaris tenggelam dalam hening yang menggantung di antara mereka.
Ia menunduk, membiarkan pikirannya melayang kembali pada setiap amplop yang datang tanpa suara. Entah sudah berapa banyak. Entah dari mana. Tapi satu hal yang pasti, semuanya ditulis oleh tangan yang sama. Tangan yang pernah menggenggamnya saat takut.
Tangan yang kini, bahkan namanya pun hanya tinggal gema dalam doa.
Tulisan tangan Dika.
Gaya bahasanya. Kalimat-kalimat yang begitu akrab, dan justru karena itu, menyakitkan. Setiap huruf terasa hidup. Seolah Dika masih di sini. Masih bicara padanya. Masih menatapnya dari kejauhan yang tak terlihat.
Padahal, tanggal di sudut kertasnya sudah lama berlalu.
Beberapa bahkan lebih tua dari ingatannya.
Tapi isinya terlalu tepat, terlalu kini, seolah Dika tahu apa yang sedang Ara rasakan. Hari ini. Sekarang.
"Kenapa kamu kirim semua ini setelah kamu nggak ada?"
Ara terdiam. Suaranya hanya menggantung di udara, tanpa tujuan, tanpa balasan.
"Kenapa bukan waktu kita masih bisa saling bicara? Apa kamu sengaja nunggu aku cukup kuat buat membaca semuanya sendirian?"
Ia menggeleng pelan. Bukan karena kecewa, bukan pula marah. Tapi karena dadanya terlalu penuh oleh rindu yang tak punya arah, oleh tanya yang tak kunjung menemukan jawab.
Surat-surat itu datang satu per satu, diam-diam. Tanpa nama pengirim. Tanpa petunjuk.
Hanya tiba-tiba ada di atas meja, terselip di antara buku-bukunya, di bawah bantal, di laci kamar, bahkan di sekolah, tempat yang sudah lama ia tinggalkan.
Seolah ada yang tahu ke mana langkahnya akan pergi. Seolah seseorang atau mungkin Dika sendiri masih mengawasinya dari kejauhan yang tak masuk akal.
Dan setiap surat itu seperti memaksanya untuk kembali. Bukan pada masa lalu, tapi pada versi dirinya yang dulu. Versi yang pernah ia kubur bersama kepergian Dika.
"Siapa yang mengirimkannya, Ka? Siapa yang kamu percaya untuk meneruskan semua ini? Karena jelas bukan kamu."
Ia menarik napas pelan.
Ada bagian dari hatinya yang takut mencari tahu. Tapi ada juga bagian yang merasa ini belum selesai. Bahwa Dika meninggalkan teka-teki terakhir yang harus dia pecahkan.