Sebelum pulang, Ara berdiri pelan. Menatap lilin yang telah padam karena angin.
Ia tidak meniupnya. Tidak memotong kuenya. Ia hanya memandang langit, lalu berkata lirih.
"Tahun depan, aku datang lagi. Bawa cerita baru. Tapi kamu tetap alasannya."
Hari itu, tidak ada nyanyian. Tidak ada pesta.
Tapi cinta tetap tinggal di tanah sunyi yang menyimpan seseorang yang pernah membuat Ara merasa hidup.
Ara melangkah pergi, meninggalkan pusara dengan langkah pelan, seorang laki-laki berdiri di sisi jalan setapak, mengenakan jaket gelap, wajahnya tertunduk.
Sesaat tatapan mereka bersitatap.
Tak ada sapaan. Tak ada senyuman.
Hanya pandangan sekilas, tapi cukup untuk membuat dada Ara terasa sesak.
"Aku pernah lihat dia, tapi di mana ya? Wajah itu, seperti bagian dari masa lalu yang samar tapi belum selesai."
Ara melangkah menjauh. Tapi perasaan aneh itu tetap tinggal.
Dan entah kenapa, ia merasa, jawaban dari semua pertanyaannya. Tentang surat-surat itu, tentang pesan terakhir Dika, ada di balik tatapan laki-laki asing yang berdiri diam di tengah sunyi.
***
Langit pagi masih abu-abu ketika Ara membuka pagar rumah perlahan.
Sepi. Suara burung dari kejauhan terdengar samar, bercampur aroma masakan dari dapur-dapur tetangga yang mulai hidup.