"Selamat ulang tahun, Dika..." bisiknya nyaris tak terdengar, seolah takut suaranya mengganggu keheningan.
"Kuenya sederhana. Tapi isinya doa." Ara tersenyum kecil.
"Aku tahu kamu nggak bisa lagi potong kuenya sendiri, jadi hari ini biar aku yang makannya. Sendirian."
Ia terkekeh pelan, bukan karena lucu, tapi karena tak tahu harus bereaksi seperti apa. Lalu tanpa diminta, air matanya jatuh, pelan. Seolah ingin mengatakan sesuatu yang tak sanggup ia ucapkan.
Ara meletakkan kue di atas batu datar di sisi makam. Lilinnya dinyalakan. Api kecil itu berkedip, seolah sadar bahwa cahaya itu hanya untuk dikenang, bukan untuk dirayakan.
"Tahun lalu, aku masih berharap kamu bangun di pagi hari ini, marah-marah karena aku lupa ngucapin ulang tahun. Tapi nyatanya, aku cuma bisa datang ke sini. Bawa kue yang nggak akan pernah kamu cicipi."
Tangannya mengusap perlahan sisi batu nisan yang dingin.
Sejenak, ia menutup mata. Hening.
Ara tak berbicara banyak. Hanya duduk diam cukup lama, seolah ingin berbagi keheningan yang dulu pernah mereka bagi di sore-sore panjang.
Lalu, ia mengeluarkan surat dari dalam tasnya.
Surat itu dilipat rapi, ditulis dengan tinta hitam di atas kertas berwarna cokelat tua.
Tanpa membacanya dengan suara, Ara meletakkan surat itu tepat di samping nisan, ditindih dengan batu kecil agar tak diterbangkan angin.
"Isinya cuma satu tahun yang aku jalani tanpa kamu. Tentang hari-hari yang sepi, dan malam-malam yang aku lalui sambil bertanya kenapa kamu pergi sebelum aku sempat bilang semuanya."
Ara terdiam. Matanya menatap tanah di depannya, tapi pikirannya jauh.
Mengulang kenangan ulang tahun Dika bertahun-tahun lalu.
Saat mereka masih sekolah. Saat Dika pernah pura-pura lupa hari ulang tahunnya sendiri hanya agar Ara mengucapkannya duluan.