Warung gorengan di pojok gang itu selalu jadi tempat persinggahan kami tiap sore. Meja kayu sudah goyah, cat dindingnya mengelupas, tapi entah kenapa rasanya lebih nyaman dibanding kafe mana pun.
Mungkin karena di sini, kami nggak perlu sok keren, cukup jadi diri sendiri. Aku dan Nara emang bersahabat sejak SD, jadi dia tahu cerita lama gue—hal-hal yang nggak semua orang tahu.
Di sini kami bisa bercanda receh, bisa juga tiba-tiba nyemplung ke obrolan serius. Kadang rasanya tidak seperti dua orang dewasa yang mampir beli camilan, tapi dua bocah kecil yang masih nyari tempat aman buat istirahat sebentar.
"Eh, Dit, lo sadar nggak sih gorengan di sini makin lama makin tipis isinya?"
Nara ngomel sambil ngeretakin tahu isi yang kelihatan lebih banyak anginnya ketimbang wortel dan kol.
Aku ketawa. "Halah, lo aja yang makin rakus. Lagian harga minyak naik, Bro. Jangan salahin tukang gorengan."
"Yaelah, kalo gitu namanya gorengan plus subsidi perasaan pembeli,"
Nara nyengir, lalu nyedot es teh manisnya. "Tapi tetep aja, dulu gue inget banget tempenya tebel, sampe harus gigit dua kali. Sekarang sekali hap, udah hilang."
Aku pura-pura mikir serius. "Itu tanda kita udah tua, Ra. Dulu semua keliatan gede, sekarang malah menyusut—termasuk isi dompet."
Kami sama-sama ketawa. Obrolan receh kayak gini biasanya jadi pengantar sebelum masuk ke hal-hal yang entah kenapa malah terasa berat. Aku tahu kebiasaan Nara. Dia nggak pernah langsung to the point.
"Lo pernah mikir nggak, Dit?"