Sebuah curhat tentang luka yang tidak ingin diwariskan
Ditta, aku ingin cerita ...
Aku baru saja membaca artikelmu yang berjudul "Sangkar Kaca | Tentang Mereka yang Terjebak dalam Ekspektasi".
Artikel yang membahas tentang socially-prescribed perfectionism dan bagaimana itu bisa membawa seseorang ke kelelahan, kesepian, bahkan depresi. Rasanya seperti ditampar pelan.
Aku tahu, bentuk perfeksionismeku berbeda dengan artikelmu—lebih ke self-oriented perfectionism. Tapi, entah kenapa, aku bisa melihat diriku sendiri di dalamnya. Seperti bercermin pada luka lama.
Mungkin ini dimulai sejak kecil, ketika aku tumbuh dalam keluarga besar, dengan banyak saudara dan perhatian yang harus dibagi. Aku tahu, orang tuaku tidak pernah bermaksud membedakan, tapi kenyataan kadang memaksakan adanya perbedaan.
Contohnya,salah satu kakakku sering sakit sejak kecil. Tentu saja perhatian utama tertuju padanya—dan aku, yang selalu sehat, belajar diam. Belajar tak meminta. Belajar menyimpan jeritan kecil yang hanya terdengar di dalam hati.
Suatu ketika, aku sangat menginginkan sebuah boneka kecil berambut panjang, sangat cantik menurutku. Selama ini, aku tak pernah meminta karena boneka dari kakak-kakakku masih bisa kumainkan. Tanpa sebab yang jelas, aku merasa ingin punya boneka yang benar-benar milikku.
Sayangnya, keinginanku masih harus kusimpan sebagai mimpi. Aku tidak bisa mengungkapkan rasa kecewa dan sedih yang muncul kepada siapa pun. Alasan yang diberikan pun bisa kuterima, belum ada dana lebih dan sudah banyak boneka.
Aku hanya sanggup menganggukkan kepala dan duduk diam di depan telelvisi yang tak kutahu sedang menayangkan apa.
Mulutku memang diam, aku pun tak menangis, tetapi sepertinya ada bagian dari diriku yang tak bisa menerima penolakan ini. Aku pun jatuh sakit dan harus dirawat. Dokter bilang aku sakit tipus.