Dari luar, ia tampak sempurna.
Senyumnya selalu manis, prestasinya berderet tak putus. Ia tak pernah gagal membuat orang kagum. Ia tahu cara berbicara yang menyenangkan, tahu harus berbuat apa agar tidak mengecewakan.
Ia adalah kebanggaan—anak panutan, murid teladan, teman yang bisa diandalkan. Orang-orang melihatnya selalu gemilang, seolah tinggal di dalam kaca: jernih, elegan, bahkan tampak berkilau.
Namun, tak banyak yang tahu, betapa kaca itu rapuh. Tak banyak yang sadar, bahwa keindahan itu bisa jadi adalah sebuah penjara yang tak terlihat.
Bisa jadi, tidak ada yang mendengar gemetar suaranya ketika mencoba berkata, "Aku lelah."
Bisa jadi, tidak ada yang benar-benar bertanya, bahagiakah ia di dalam sana?
Di balik setiap senyumannya, mungkin ada ketakutan yang tak terucap:
Takut gagal. Takut mengecewakan. Takut tidak cukup baik untuk dunia yang menuntut terlalu banyak. Ketakutan akan penolakan dan kehilangan cinta pun membayangi.
Ironisnya—sekali saja ia lelah, gagal, atau melambat ... kaca itu akan mulai retak. Meski kecil, retakan itu bisa mengancam segalanya: harga diri, cinta, penerimaan.
Di Balik Keinginan untuk Sempurna
Apa yang membuat seseorang tinggal begitu lama dalam sangkar kaca seperti itu? Salah satunya adalah bentuk perfeksionisme yang disebut socially-prescribed perfectionism—sebuah dorongan kuat untuk menjadi sempurna, karena merasa orang lain mengharuskannya demikian.
Bukan karena ia ingin, melainkan karena ia takut: takut akan kegagalan, takut akan penolakan, dan takut tak lagi dicintai bila tak tampil sempurna.
Seseorang yang berada dalam jebakan ini hidup dengan ketakutan yang terus-menerus. Ia merasa tidak punya pilihan lain, selain memenuhi ekspektasi yang datang dari luar—orang tua, guru, lingkungan, bahkan media sosial.
Lama-kelamaan, ia belajar untuk memendam perasaannya, menyembunyikan kelelahannya, dan menutup rapat keretakan kecil yang mulai muncul dari dalam.