Mohon tunggu...
Ditta Atmawijaya
Ditta Atmawijaya Mohon Tunggu... Editor

Pencinta tulisan renyah nan inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Aku Tidak Ingin Anakku Menjadi Sepertiku

12 Agustus 2025   07:12 Diperbarui: 12 Agustus 2025   11:45 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tak semua bingkai itu memuliakan. Ada yang membatasi, menyembunyikan jeritan. Ia tak ingin meneruskannya.(Foto: Karlie Mitchell/Unsplash)

Saat dirawat, seorang kakak laki-lakiku datang dan membawa sebuah kotak kecil yang terbungkus kertas kado. Aku bingung ketika ia menyerahkan itu kepadaku. Aku tidak sedang berulang tahun, tidak juga habis menuai prestasi, lalu untuk apa?

Kakakku tertawa melihat kebingunganku dan memintaku membuka kotak itu. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku membukanya perlahan karena tubuhku masih lemas.

Ketika menarik isi kotak itu keluar, aku mendadak duduk hingga membuat kakakku kaget dan memegangiku. Aku terpana menatap benda di tanganku ... itu adalah boneka yang kuidamkan untuk kupunya.

Tak terasa airmataku mengalir begitu saja dan aku memeluk kakakku. Ternyata aku masih disayang, begitu pikiran kecilku melintas dan ... aku pun dinyatakan sehat kembali.

Mungkin sejak itulah, aku mulai belajar "menyelamatkan diri" lewat logika. Bahwa segalanya harus bisa dijelaskan dan diterima secara rasional. Bahwa kalau aku mengerti alasannya, aku akan baik-baik saja. Perasaan harus menunggu.

Pemikiran bahwa logika akan melindungi aku kecil—terus kubawa sampai hari ini.

Memang, kebiasaan itu sering menyelamatkanku. Namun, aku juga sadar... banyak luka yang tak sempat sembuh, hanya karena terus kuterima dengan logika.

Luka yang membuatku menuntut terlalu banyak dari diri sendiri, karena tak ingin jadi beban bagi siapa pun.

Aku tumbuh dengan suara-suara dalam kepala yang terus berkata:
Harus bisa.
Harus sempurna.
Jangan gagal.

Padahal, tidak ada yang memaksaku. Tidak ada yang memaksa secara langsung, setidaknya. Namun, aku jadi terbiasa mengukur diriku dengan hasil, pencapaian, validasi.

Aku belajar untuk tak menunjukkan lelah, karena itu dianggap lemah. Tanpa sadar, aku jadi orang yang selalu mengejar... tanpa pernah merasa cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun