Nara tiba-tiba berubah nada. Tangannya sibuk ngetok botol mineral kosong kayak drummer cadangan band kampus. Aroma serius mulai tercium, nih.
"Mikir apa? Jangan bilang teori konspirasi baru lo lagi," jawabku sambil menatap tempe mendoan yang baru diangkat, minyaknya masih menetes. Tercium wangi tempe hangat yang bercampur dengan asap knalpot dari jalan.
Nara menatap kosong ke jalanan.
Kayaknya kita tuh nggak pernah beneran jadi orang dewasa. Kita cuma anak kecil yang nyamar. Pake baju kantor, bawa laptop, nulis laporan. Tapi dalemnya ... bocah."
Ia berhenti sebentar, bibirnya menekuk tipis. Suara minyak di penggorengan meletup pelan, seolah ikut mengisi jeda.
"Kayak tadi siang pas rapat. Semua orang bahas strategi bisnis, tapi gue malah mikir: 'Ngapain sih gue sok paham?' Yang gue pengen sebenernya cuma main PS kayak dulu."
Aku ngakak. "Halah, lo kebanyakan nonton anime kali. Bocah nyamar jadi ninja."
"Serius, Dit. Gue ngerasainnya gitu. Lo inget kan, dulu lo sering ditinggal emak bapak kerja? Sampe sekarang, tiap orang tiba-tiba ngilang, lo langsung panik."
Nara menoleh sekilas sambil senyum.
"Kayak pas gebetan lo nggak bales WA dua jam, lo kayak mau gila. Gue sampai bingung, padahal cuma WA, tapi reaksi lo segitunya."
Tawa yang tadi lepas, seketika menguap. Gorengan di tangan mendadak hambar. Aku menatap Nara, kaget karena ternyata ia nyentuh bagian yang jarang aku buka ke siapa pun.