Kami terdiam, lalu tertawa hambar—bukan karena lucu, tapi karena sadar bocah dalam diri masih sering pegang kemudi hidup.
Nara mengangkat botol mineralnya, menirukan gaya toast ala film. "Cheers buat dua bocah yang lupa tumbuh."
Aku ikut-ikutan, mengangkat gorengan yang sudah dingin. "Cheers. Semoga bocah dalam diri kita akhirnya ngerasa pulang."
Hujan rintik-rintik turun tiba-tiba, membasahi jalanan depan warung. Penjual buru-buru menutup tirai plastik, suara hujan beradu dengan aroma gorengan hangat. Kami terdiam sejenak, menatap derasnya air.
Aku menoleh ke Nara. "Lo sadar nggak, Ra? Mungkin tujuan kita bukan jadi orang dewasa yang sempurna. Tapi jadi orang yang cukup sabar nemenin bocah kecil di dalam diri sendiri."
Nara menghela napas panjang. "Dan kalau beruntung, kita bisa juga nemenin bocah kecil dalam diri orang lain."
Aku mengangguk, merasakan sebuah ketenangan kecil di dada.
Mungkin, menyadari dan menerima bocah di dalam diri adalah langkah pertama menuju rasa pulih dan utuh—perjalanan kecil menuju berdamai dengan diri sendiri.
Di luar sana, hujan makin deras. Namun, di dalam warung sederhana itu, dua anak kecil yang nyasar di tubuh dewasa akhirnya dapat tempat berteduh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI