"Dan gue sendiri," lanjutnya, kali ini pelan, "gue tuh dulu sering dimarahin gara-gara salah kecil. Tumpahin teh aja bisa bikin rumah kayak medan perang."
Nara menjeda kalimatnya, tangannya bergerak mengaduk teh, tapi matanya menatap jauh.
"Makanya sekarang gue gampang insecure, takut salah ngomong, takut dianggap bego. Kadang, di rapat gue cuma diam karena takut kata-kata gue nggak pas."
Aku diam, menatap sisa minyak di kertas cokelat. Motor-motor lalu lalang, suara knalpot berisik, tapi rasanya dunia sejenak menahan napas.
"Jadi sebenernya," aku akhirnya bersuara, "kita tuh bukan sekadar sahabatan. Kita kayak ... dua bocah kecil yang nyari tempat aman buat nangis tanpa diketawain."
Nara nyengir, tapi matanya nggak bisa bohong.
"Inner child kita akhirnya main bareng, numpang istirahat di warung gorengan."
Aku senyum tipis. "Lucu ya. Kita kira udah dewasa. Punya gaji, punya cicilan, punya rencana traveling. Tapi ternyata, kita masih sibuk ngasuh anak kecil dalam diri sendiri. Anak kecil yang dulu nggak pernah cukup dipeluk."
Nara mengangguk. "Pantes kita gampang ribut sama orang lain, padahal masalahnya receh. Sering kali, yang marah itu bukan kita yang sekarang, tapi bocah kecil yang dulu nggak pernah didengerin."
Aku tertawa kecil, kali ini getir. "Kayak waktu gue kesel banget gara-gara lo telat dateng setengah jam. Gue bilangnya soal disiplin, padahal sebenernya gue takut ditinggalin, kayak dulu."
"Persis," kata Nara. "Gue juga sering bete kalo orang nggak apresiasi kerjaan gue. Padahal bos gue nggak salah apa-apa, cuma ... gue kebayang bokap gue yang selalu bilang gue nggak pernah cukup bagus."