Arini terdiam menatap Raka yang berkaca-kaca menatapnya.
Bukan karena tak tahu harus berkata apa, tetapi karena sadar: kata-kata tak bisa menyelamatkan malam itu.
Hujan kembali turun.
Arini memeluk dirinya sendiri. Raka menatap jendela.
Malam itu berakhir seperti percakapan mereka—
tidak pecah, tidak utuh.
Hanya retak kecil yang tak pernah benar-benar disambung.
Yang Tetap Tinggal Meski Tak Lagi Dekat
Malam itu sudah lama lewat, tetapi bayangannya masih tinggal di antara sela-sela kenangan. Arini kini duduk sendiri, menatap langit dari balkon kecil di tempat barunya. Jauh dari Raka, meski tak pernah benar-benar kehilangan jejaknya.
Ia membuka jurnal kecilnya, menulis perlahan.
Raka ...
Kau masih hadir dalam jeda-jeda sunyiku.
Namun, aku tahu, aku tak bisa terus menunggumu belajar menenangkan badaimu,
sementara aku kehilangan daratanku sendiri.
Gerakan Arini terhenti. Menatap kata-kata itu sejenak, lalu menambahkan.
Bukan karena cintaku berkurang,
tapi karena aku juga harus mencintai diriku.
Ia tersenyum kecil. Ada rindu, tentu, tetapi kali ini tidak membanjiri. Ia tahu, cinta tak harus dekat untuk tetap hangat. Tak harus bersama untuk tetap setia.
Setelah begitu banyak ruang dan diam, akhirnya kenangan itu kembali. Tak untuk dilanjutkan, hanya untuk dikenang agar tak ada lagi tanya yang menggantung.
Raka mungkin masih menenangkan gelombangnya sendiri. Sementara Arini ... akhirnya memilih menjadi pelabuhan bagi dirinya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI