Jika kita menyelami perjalanan hidup Nabi Muhammad, kita akan menemukan bahwa keagungan beliau tidak hanya terletak pada wahyu yang dibawanya, tetapi juga pada moralitas yang melekat dalam setiap detak kehidupannya. Beliau bukan hanya guru spiritual, tetapi juga teladan manusia yang berhasil menyatukan ucapan, tindakan, dan hati menjadi satu harmoni akhlak yang agung.
Sejarah mencatat, sejak muda Muhammad dijuluki al-Amn---yang terpercaya. Gelar ini bukan sekadar penghormatan sosial, tetapi pengakuan kolektif bahwa integritas adalah nafas hidupnya. Kejujurannya dalam berdagang membuat orang percaya menitipkan harta, bahkan sebelum risalah kenabian turun. Dari sinilah kita belajar: kepercayaan adalah modal kepemimpinan, dan kejujuran adalah jantung moralitas.
Lebih jauh, Muhammad menunjukkan keadilan yang tegak lurus, tak pernah bengkok oleh kepentingan. Ketika seorang wanita terpandang Quraisy mencuri, sebagian tokoh meminta keringanan hukuman. Namun beliau menegaskan, "Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya." Inilah keadilan yang melampaui nepotisme, yang meletakkan hukum di atas garis keturunan. Sebuah pesan abadi bahwa masyarakat hanya akan tegak jika keadilan berlaku bagi semua.
Namun moralitas Muhammad tidak berhenti pada hukum kaku. Ada kelembutan yang mengalir dalam setiap tindakannya. Dalam perang Uhud, ketika luka menoreh tubuhnya, doa beliau bukanlah kutukan, melainkan ampunan: "Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui." Di titik inilah kasih sayang beliau melampaui batas logika manusia biasa---beliau memilih cinta ketika dunia mengajarkan balas dendam.
Dan puncak kasih sayang itu tampak dalam Fathu Makkah. Setelah bertahun-tahun diusir, difitnah, dan diperangi, beliau memasuki Makkah sebagai pemenang. Seorang manusia biasa mungkin akan menuntut balas, tetapi kalimat beliau justru menggema dengan keagungan moral: "Pergilah, kalian bebas." Inilah revolusi akhlak---musuh diubah menjadi saudara, dendam diganti dengan rekonsiliasi. Sejarah dunia jarang mencatat pemenang yang memilih memaafkan, dan Muhammad adalah salah satu yang langka.
Di balik panggung publik, moralitas beliau tetap konsisten. Di rumah, ia menambal sandalnya sendiri, membantu pekerjaan istrinya, dan hidup sederhana meski berkuasa penuh. Beliau menolak hadiah yang berpotensi menjadi gratifikasi, dan menjaga transparansi dalam pembagian harta umat. Kesederhanaan privat ini adalah bukti bahwa moralitas sejati tidak membutuhkan panggung; ia hidup dalam keseharian yang tulus.
Jika dilihat dengan kacamata teori etika modern, moralitas Muhammad adalah sebuah sintesis indah:
Etika kebajikan (virtue ethics): akhlak mulia sebagai watak bawaan, bukan sekadar strategi.
Etika kewajiban (deontological ethics): hukum ditegakkan tanpa kompromi.
Etika kepedulian (ethics of care): kasih sayang sebagai inti hubungan sosial.
Etika konsekuensialis: selalu mempertimbangkan dampak sosial dari tindakan.