Salah satu pernak-pernik yang sering dipakai orang Jepang dalam keseharian mereka adalah saputangan. Di Indonesia sekarang ini, pemakaian saputangan tampaknya sudah jarang terlihat.
Di negeri Sakura ini mulai dari anak-anak sekolah hingga orang tua banyak terlihat selalu membawa saputangan. Terutama—sejauh hasil pengamatan selama ini—pada musim panas.
Pada umumnya, orang Jepang membawa saputangan sepanjang tahun. Namun khususnya pada musim panas, peran `hankachi` (ハンカチ)–sebutan untuk saputangan di bahasa Jepang–ini cukup penting.
Penggunaan saputangan secara budaya sering dihubungkan dengan pemakaian `tenugui`. Dilansir Guidable.co, tenugui adalah saputangan tradisional yang sudah dipakai sejak zaman Heian (794-1185) yang terbuat dari bahan katun berkualitas. Tenugui ini populer karena keawetan, serta desain dan warnanya yang menarik. Fungsi utama dari tenugui adalah sebagai kain lap atau kain untuk membersihkan/kain pengering.
Apa yang membuat pernik satu ini tidak bisa diremehkan? Sebelumnya kita tilik, yuk, sejarah masuknya saputangan.
Sejarah singkat
Dilansir Roberttos.com, pemakaian saputangan (pocket handkerchiefs) ala Barat/Eropa yang dipakai dengan menyelipkan pada kantong depan jas mulai terlihat di Jepang pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Tren pemakaian saputangan kantong yang terbuat dari bahan sutra atau katun itu lalu diikuti oleh para bangsawan Jepang masa itu sebagai tanda kemewahan dan kekayaan, serta menjadi sebuah fashion statement bagi kalangan yang mampu.
Mengapa saputangan dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keseharian orang hingga kini? Roberttos.com memaparkan, karena fungsinya yang bergeser dari penggunaan pocket handkerchiefs khas Eropa/Barat dulu. Saputangan di Jepang sekarang tidak lagi berfungsi sebagai dekorasi untuk pakaian, namun penggunaannya menjadi lebih fungsional.
Mal-mal atau toko-toko menjual saputangan dengan beraneka jenis bahan, warna, serta ukuran begitu memasuki musim panas.