Pendahuluan ---
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS) keluaran 1966 lahir dalam konteks politik yang keras, setelah peristiwa 1965 dan transisi kekuasaan yang dramatis. Banyak ketetapan itu mengubah wajah negara --- ada yang menata kembali lembaga, ada yang mempidanakan paham, ada yang memberi legitimasi bagi struktur kekuasaan baru. Namun konteks politik, sosial, dan ekonomi Indonesia hari ini jauh berbeda: demokrasi pemilu langsung, pluralisme warga, pasar global, serta tantangan kesejahteraan rakyat yang khas abad ke-21. Oleh karena itu wajar --- bahkan wajib --- menimbang ulang: mana ketetapan yang masih relevan sebagai penopang stabilitas dan keadilan, dan mana yang sedang membatasi demokrasi, ruang sipil, dan pembangunan sosial-ekonomi.
Pada tulis ini saya akan menggabungkan data sosial-ekonomi terkini, gambaran politik sekarang, analisa normatif atas Tap-Tap kunci 1966, dan sebuah bab opini khusus: bagaimana sikap Marhaenis dan rakyat marhaen seharusnya menempatkan diri terhadap warisan itu ---
---
Gambaran Singkat Kondisi Sosial-ekonomi dan Politik Indonesia Saat Ini (Fakta Terkini)
1. Pertumbuhan ekonomi: Indonesia tumbuh secara moderat dalam beberapa tahun terakhir; laporan BPS menunjukkan pertumbuhan GDP triwulan dan angka resmi Q1--2025 yang mencerminkan dinamika pemulihan dan tantangan permintaan domestik. Pertumbuhan 2024 berada di kisaran 5% dan proyeksi variatif untuk 2025, sementara pemerintah menargetkan akselerasi melalui instrumen fiskal.Â
2. Kemiskinan dan ketimpangan: Angka kemiskinan resmi BPS September 2024 tercatat di kisaran 8--9 persen (sekitar 24 juta orang) dan ada perbedaan metodologi dengan estimasi internasional; World Bank juga memperbarui garis kemiskinan internasional sehingga interpretasi statistik memerlukan kehati-hatian. Indikator Gini menunjukkan ketimpangan yang belum sepenuhnya turun. Data ini menandakan bahwa persoalan kesejahteraan tetap nyata dan struktural.Â
3. Ketenagakerjaan dan inflasi: Tingkat pengangguran terbuka pada 2025 bergerak di kisaran 4--5 persen; upah riil dan kualitas kerja masih menjadi pekerjaan rumah besar. Inflasi relatif terkendali di rentang target BI namun terdapat fluktuasi yang dipengaruhi kebijakan subsidi dan diskon tarif listrik.Â
4. Situasi politik: Pemerintahan baru (periode 2024-- ) melakukan reshuffle kabinet dan kebijakan ekonomi pro-pertumbuhan yang agresif, termasuk injeksi likuiditas ke bank-bank negara dan program subsidi/insentif untuk meningkatkan permintaan dan investasi---langkah yang mendapat sorotan karena menekan buffer fiskal. Kondisi ini berarti tekanan politik untuk hasil ekonomi cepat tinggi, sementara ruang kritik dan kontrol demokratis harus tetap dijaga.Â
---
Sekilas Tentang Tap MPRS 1966 --- Kategori Ketetapan yang Relevan untuk Ditinjau
Daftar ketetapan MPRS 1966 sangat banyak dan beragam: mulai ketetapan tentang pengangkatan pejabat, pembubaran organisasi (termasuk Tap No. XXV/1966 yang membubarkan Partai Komunis Indonesia dan melarang organisasi/ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme), ketetapan berkaitan dengan jabatan "Pemimpin Besar Revolusi", hingga ketentuan tentang pembinaan pers, dan penataan sistem ketatanegaraan. Sumber-sumber hukum menunjukkan keberadaan banyak Tap yang masih terdaftar dalam kumpulan peraturan MPR/TAP.Â
Beberapa kelompok Tap yang penting untuk dianalisis:
- Tap keamanan-ketat (anti-komunis, pembatasan organisasi ideologis) --- mis. TAP No. XXV/1966 (pembubaran PKI).Â
- Tap legitimasi kekuasaan (penunjukan pejabat, gelar, dan penguatan figur tertentu) --- mis. Tap tentang "Pemimpin Besar Revolusi" (TAP No. XVII/1966) dan Tap lain yang terkait.Â
- Tap teknis tata pemerintahan, hukum, pers, pertahanan --- mis. Tap tentang pembinaan pers, pembenahan militer, dan urutan perundangan.Â
---
Prinsip Analitik --- Apa Kriteria Untuk Mempertahankan atau Menghapus?
Sebelum menyebut Tap mana yang mesti dipertahankan atau dicabut/ditinjau ulang, perlu ditetapkan kriteria:
1. Legitimasi konstitusional: Apakah ketetapan masih sesuai dengan UUD 1945 hasil amandemen dan prinsip demokrasi?
2. Fungsionalitas kebijakan publik: Apakah ketetapan masih relevan untuk tujuan perlindungan publik (mis. mencegah kekerasan, kejahatan terorganisir) atau justru menghambat hak sipil?
3. Dampak pada ruang sipil dan demokrasi: Apakah ketetapan membatasi kebebasan berserikat, berpendapat, dan pers yang esensial bagi demokrasi?
4. Kebutuhan sosial-ekonomi kontemporer: Apakah ketetapan mendukung atau menghalangi kebijakan pro-kesejahteraan (mis. perlindungan buruh, pemberdayaan ekonomi rakyat)?
5. Prinsip rekonsiliasi dan keadilan transisional: Dapatkah ketetapan itu diubah agar memberi keadilan pada korban pelanggaran masa lalu tanpa membahayakan stabilitas?
Dengan kriteria ini, saya akan menganalisa beberapa Tap yang paling berdampak --- secara normatif merekomendasikan apa yang mesti dipertahankan, ditinjau ulang secara serius, atau dihapus.
---
Analisa: Mana yang Mesti Dipertahankan
1. Tap yang menjaga keamanan sipil dari kekerasan terorganisir --- Ketetapan atau norma yang secara jelas mencegah aksi kekerasan, subversi yang menimbulkan korban massal, atau upaya yang mengancam keselamatan publik, bila diformulasikan sebagai tindakan pidana (bukan larangan gagasan murni), layak dipertahankan. Negara berhak melindungi warganya dari kekerasan terorganisir. (Dasar: fungsi negara menjaga keselamatan warga; konteks: pengalaman 1965 yang traumatik).
2. Tap teknis yang memperkuat tata kelola pertahanan dan koordinasi keamanan --- Ketentuan yang mengatur pertahanan negara dan koordinasi lembaga keamanan yang tidak memberikan kekuasaan luar-ordinair pada satu figur dan yang sejalan dengan prinsip kontrol sipil atas militer bisa dipertahankan, dengan revisi untuk meningkatkan akuntabilitas publik.Â
---
Analisa: Mana yang Harus Ditinjau Ulang atau Dihapus
1. Larangan ideologis absolut (mis. pembubaran organisasi dan larangan berpaham secara mutlak) --- Tap seperti TAP No. XXV/1966 yang membubarkan PKI dan melarang penyebaran paham Komunis/Marxisme-Leninisme telah berfungsi sebagai legacy keamanan, tetapi juga menciptakan doctrine-based ban yang menyelimuti ruang akademik, politik, dan hak berorganisasi selama puluhan tahun. Dalam konteks demokrasi modern dan kebebasan akademik, larangan ide secara absolut menimbulkan masalah: ia mempersulit rekonsiliasi sejarah, kriminalisasi ingatan kolektif, dan membuka peluang pelabelan politik yang disalahgunakan terhadap oposisi. Oleh karena itu arus normatif harus digeser: tetap melarang tindakan kekerasan-organized dan pelanggaran HAM, tetapi meninjau formulasi larangan ide agar tidak mengkriminalkan gagasan secara murni tanpa unsur kekerasan.Â
2. Ketetapan yang memesankan figur tunggal tanpa mekanisme hukum demokratis --- Tap yang memberi penguatan simbolik atau praktis kepada jabatan atau figur (contoh: "Pemimpin Besar Revolusi") berpotensi menghambat prinsip kolegialitas dan akuntabilitas pemerintahan modern. Ketetapan semacam ini perlu dicabut atau dikonversi menjadi catatan sejarah; tidak boleh menjadi dasar politik saat ini.Â
3. Ketentuan yang membatasi pers secara normatif --- Ketetapan tentang pembinaan pers yang memberi wewenang kontrol yang berlebihan pada negara harus ditinjau untuk memastikan pers bebas dapat berfungsi sebagai kontrol demokrasi. Pers bebas yang bertanggung jawab adalah penopang tata kelola yang sehat; segala norma yang memungkinkan sensor dan pembungkaman politik perlu diubah.Â
4. Tap yang menghalangi hak-hak sipil dan rekonsiliasi --- Banyak korban sejarah masih menunggu kepastian hukum dan pengakuan. Ketetapan yang menutup peluang rekonsiliasi dan akuntabilitas HAM harus ditinjau ulang agar negara dapat melakukan truth and reconciliation berdasarkan hukum dan perlindungan korban, bukan sekadar mempertahankan narasi hegemonik. (Catatan: peninjauan harus menerapkan mekanisme hukum dan proses publik yang transparan.)
Baik --- berikut Lampiran terperinci: daftar Ketetapan MPRS (TAP) yang saya rekomendasikan dipertahankan (dengan catatan/penyempurnaan) dan yang perlu ditinjau ulang/dicabut. Saya menyusun daftar ini berdasarkan teks ketetapan (arsip resmi), kajian akademik/analitis, dan pertimbangan konstitusional & sosial-ekonomi saat ini. Untuk setiap entri saya sertakan nomor TAP, ringkasan singkat isi, alasan rekomendasi, dan rujukan agar Anda bisa menelusuri lebih jauh.
> Catatan metodologis singkat: rekomendasi ini menerapkan kriteria yang saya gunakan sebelumnya --- (1) kesesuaian konstitusional dan prinsip demokrasi, (2) fungsionalitas kebijakan publik hari ini, (3) dampak terhadap ruang sipil dan HAM, dan (4) kontribusi terhadap kesejahteraan rakyat. Untuk teks resmi TAP saya rujuk arsip peraturan & dokumentasi MPR/JDIH.Â
---
A. TAP yang Direkomendasikan Dipertahankan (dengan penyempurnaan jika perlu)
> Rationale umum: ketetapan-ketetapan berikut berisi norma-norma yang masih memiliki fungsi publik nyata (mis. tata kelola pertahanan, landasan ekonomi, kebijakan kesejahteraan) atau bersifat administratif/historis dan tidak mengandung larangan ideologis absolut. Namun beberapa perlu reformulasi agar sesuai UUD 1945 hasil amandemen dan prinsip akuntabilitas.
1. TAP No. XXVIII/MPRS/1966 --- Kebijaksanaan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
Ringkas: Kebijakan peningkatan kesejahteraan rakyat (anggaran, program pembangunan daerah, prioritas sosial).
Kenapa dipertahankan: Menyokong agenda pro-kesejahteraan (yang relevan bagi rakyat marhaen). Dapat dijadikan basis historis untuk memperkuat kebijakan pro-rakyat, subsidi, dan program redistribusi bila disesuaikan dengan kerangka hukum modern.
Catatan: Perlu pembaruan redaksional agar selaras dengan undang-undang fiskal, tata kelola anggaran modern, dan mekanisme pengawasan DPR.Â
2. TAP No. XXIV/MPRS/1966 --- Kebijakan dalam Bidang Pertahanan/Keamanan
Ringkas: Ketentuan tentang kebijakan pertahanan-keamanan pasca-1965.
Kenapa dipertahankan: Negara berhak menetapkan norma untuk keamanan nasional. Namun: wajib direvisi untuk menegaskan prinsip kontrol sipil atas militer, perlindungan HAM, dan mekanisme pengawasan serta akuntabilitas.
Rujukan: teks di peraturan.go.id dan kumpulan TAP.Â
3. TAP No. XX/1966 --- Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum & Tata Urutan Perundang-undangan
Ringkas: Penjelasan tata urut perundang-undangan (penting untuk kesinambungan hukum).
Kenapa dipertahankan: Prinsip tentang tata urut perundang-undangan masih relevan; perlu dipertegas agar konsisten dengan UUD 1945 hasil amandemen dan praktik yudisial modern.Â
4. TAP No. XXIII/MPRS/1966 --- Pembaharuan Landasan Ekonomi, Keuangan, Pembangunan
Ringkas: Kebijakan landasan ekonomi/keuangan pasca-1965.
Kenapa dipertahankan: Memuat arah kebijakan ekonomi yang bisa diadaptasi untuk tujuan pembangunan inklusif; revisi diperlukan untuk memastikan orientasi pro-kesejahteraan (daftar program, proteksi usaha mikro).Â
5. TAP terkait pemberian otonomi daerah / tata pemerintahan dasar (mis. beberapa ketetapan pada daftar TAP yang menegaskan peran DPR/otonomi daerah)
Ringkas: Ketetapan yang menganjurkan otonomi daerah dan peran DPR.
Kenapa dipertahankan: Otonomi daerah kuat membantu pemerataan pembangunan; tetap relevan untuk agenda marhaen. Namun harus selaras dengan UU Otonomi Daerah modern.Â
6. TAP-TAP administratif / simbolik yang tidak menimbulkan pembatasan HAM (mis. pengangkatan pahlawan, perubahan gelar formal yang bersifat administratif)
Alasan: bersifat historis/simbolik; tidak membahayakan kebebasan sipil. (Contoh: TAP No. XXIX tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera, TAP No. XXXI soal penggantian sebutan).Â
---
B. TAP yang Direkomendasikan Ditinjau Ulang Secara Mendalam / Dicabut (prioritas tinggi)
> Rationale umum: Ketetapan-ketetapan berikut mengandung larangan ideologis absolut, penguatan figur tunggal, ketentuan pembatasan ruang sipil, atau norma yang memblokir rekonsiliasi & kebebasan akademik. Untuk demokrasi sehat, ketentuan semacam ini harus direformasi --- bukan sekadar diabaikan secara praktik.
1. TAP No. XXV/MPRS/1966 --- Pembubaran Partai Komunis Indonesia; Pernyataan Organisasi Terlarang & Larangan Menyebarkan/ Mengembangkan Paham Komunis/Marxisme-Leninisme
Ringkas: Pembubaran PKI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan/pengembangan paham komunis/Marxisme-Leninisme.
Rekomendasi: Ditinjau ulang dan direformulasi --- bukan otomatis dicabut tanpa kajian; tetap larang tindakan kekerasan/konspirasi yang melanggar hukum, tetapi hapus/ubah formulasi yang mengkriminalkan pemikiran/penelitian akademik murni. Larangan ideologis absolut memberi ruang penyalahgunaan politik (labelisasi), menghalangi penelitian sejarah & rekonsiliasi. Perlu dicatat: MPR beberapa kali menegaskan keberlakuan TAP ini, sehingga peninjauan harus melalui mekanisme formal.Â
2. TAP No. XVII/MPRS/1966 --- Pemimpin Besar Revolusi (predikat untuk Bung Karno)
Ringkas: Menetapkan predikat/pengakuan khusus bagi sosok tertentu.
Rekomendasi: Dicabut / dikonversi menjadi catatan historis. Norma yang mempromosikan kultus figur bertentangan dengan prinsip pemerintahan kolegial dan akuntabilitas modern. Bung Karno adalah tokoh besar --- pengakuan simbolik boleh ada dalam arsip sejarah, tidak perlu menjadi basis legal yang memberi preferensi politik.Â
3. TAP No. XXVI/MPRS/1966 --- Pembentukan Panitia Peneliti Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno
Ringkas: Pengorganisasian penelitian yang berfokus pada "ajaran pemimpin besar revolusi".
Rekomendasi: Dicabut/ditinjau ulang karena bisa menjadi instrumen ideologis negara yang membatasi penelitian independen; setidaknya harus diganti dengan mekanisme penelitian akademik bebas dan independen tentang sejarah nasional.Â
4. TAP No. XXXII/MPRS/1966 --- Pembinaan Pers
Ringkas: Ketetapan soal pembinaan pers oleh pemerintah bersama perwakilan pers.
Rekomendasi: Direvisi secara substansial atau dicabut jika memberi wewenang negara untuk mengontrol isi pers. Pers bebas adalah penopang demokrasi; setiap norma yang membuka pintu sensor administratif atau pembungkaman politik harus dihapus. Prinsip pembinaan bisa dipertahankan dalam bentuk kebijakan dukungan (mis. akses informasi, perlindungan jurnalis), bukan kontrol.Â
5. TAP yang Memungkinkan Penghapusan/Marginalisasi Hak Sipil atau Penguatan Kekuasaan Ekstra-konstitusional (mis. ketetapan yang memberi kewenangan luar biasa tanpa mekanisme pengawasan)
Rekomendasi: Dicabut atau diwujudkan ulang menjadi norma yang mensyaratkan pengawasan parlemen, akses hukum, dan judicial review. (Contoh: beberapa ketetapan keamanan pasca-1965 perlu pembatasan.)Â
6. TAP yang Menutup Akses Arsip dan Menghalangi Rekonsiliasi HAM (ketetapan yang implisit/eksplisit menutup upaya penelusuran sejarah pelanggaran HAM)
Rekomendasi: Dicabut/diubah agar membuka jalan bagi proses kebenaran, reparasi, dan pemulihan untuk korban. Negara berhak menjaga stabilitas, tetapi stabilitas tanpa keadilan hanyalah ketidakadilan yang dimaknai sebagai perdamaian semu.
---
C. Prioritas Peninjauan (jadwal kerja singkat & langkah praktis)
Saya rekomendasikan 3 prioritas peninjauan yang dapat dijadikan langkah awal:
1. Audit hukum komprehensif terhadap TAP No. XXV, XVII, XXVI, XXXII --- menilai: apakah redaksi mengkriminalkan gagasan (vs tindakan), implikasi HAM, dan dampak praktis hari ini. (Sumber teks resmi: peraturan.go.id, hukumonline, arsip MPR).Â
2. Pembentukan Komisi Independen (akademisi + korban pelanggaran HAM + masyarakat sipil + perwakilan MPR/DPR) untuk hearing publik khusus: membahas TAP-TAP sensitif (larangan ideologis, kultus figur, pembinaan pers). Proses harus transparan dan terdokumentasi. (Ini sesuai praktik rekonsiliasi di negara lain).
3. Reformulasi norma keamanan: Ubah ketentuan yang mengkriminalkan ide atau gagasan menjadi norma pidana yang jelas menargetkan tindakan (rencana kekerasan, conspiracies, hate crimes), sambil mengukuhkan perlindungan kebebasan akademik & pers.
C. Penutup --- Ringkas dan Tajam
1. Prinsip politik rakyat menuntut: pertahankan norma yang memperkuat kesejahteraan rakyat (mis. TAP XXVIII, kebijakan ekonomi/anggaran yang pro-rakyat) dan hapus/ubah norma yang membungkam kebebasan intelektual, politik, dan pers (mis. TAP XXV dalam bentuk larangan ideologis absolut, TAP XVII, TAP XXVI, TAP XXXII).Â
2. Prosedur peninjauan harus formal, publik, dan melibatkan korban serta akademisi --- bukan "peninjauan di balik meja". Ini penting agar perubahan bukan sekadar politis tetapi berlandaskan hukum dan legitimasi sosial.
---
Bab Opini Khusus: Sikap Marhaenis dan Rakyat Marhaen terhadap Warisan 1966
Pertama --- Prinsip dasar sikap marhaenis: Marhaenisme, jika dipahami sebagai politik yang menempatkan pemenuhan kebutuhan rakyat kecil (buruh, petani, pekerja informal) sebagai inti, harus menuntut tiga hal dari warisan 1966:
1. Keadilan sosial substantif --- Kebijakan dan norma yang mencegah monopoli sumber daya, melindungi pekerja, dan memperkuat kesejahteraan lapisan bawah harus dipertahankan dan dikembangkan. Jika ada ketetapan yang mendukung stabilitas yang benar-benar memperkuat kemampuan negara untuk melaksanakan program pro-rakyat (mis. penataan lahan pro-pertanian rakyat atau perlindungan industri kecil), marhaenis harus mempertahankan dan memperluasnya.
2. Kebebasan sipil dan partisipasi politik --- Marhaenisme sejati tidak identik dengan represi ideologis; ia harus menuntut kebebasan berekspresi, kebebasan berserikat, dan ruang untuk perjuangan politik rakyat. Larangan gagasan yang murni (tanpa tindakan kekerasan) adalah kontraproduktif: ia membatasi pembelajaran sejarah dan strategi perjuangan sosial. Karenanya, rakyat marhaen harus menuntut peninjauan larangan ideologis yang mengekang kebebasan politik.
3. Akuntabilitas dan rekonsiliasi historis --- Marhaenis harus menjadi suara bagi korban --- menuntut akuntabilitas atas pelanggaran HAM dan peristiwa kekerasan masa lalu, bukan menutupinya demi stabilitas semu. Rekonsiliasi yang adil akan memperkuat legitimasi gerakan rakyat di masa depan.
Kedua --- Sikap praktis:
Dukungan selektif: Dukung ketetapan yang jelas melindungi rakyat dari kekerasan dan yang memperkuat kebijakan kesejahteraan.
Penolakan tegas terhadap dogma: Tolak ketetapan yang mempertahankan dogma politik tanpa landasan hukum modern atau yang melanggengkan narasi tunggal.
Kampanye edukasi publik: Marhaenis harus memimpin dialog publik yang ilmiah dan berbasis fakta tentang sejarah 1965--66, menuntut akses arsip, dan mendorong penelitian akademik bebas. Ini adalah cara efektif menghadapi trauma sejarah tanpa membiarkan amnesia atau kebencian turun-temurun.
Agenda ekonomi pro-rakyat: Tekankan bahwa peninjauan Tap harus diarahkan untuk membuka ruang kebijakan pro-kesejahteraan (subsidi tepat sasaran, akses kredit untuk UKM/petani, perlindungan upah), bukan hanya perdebatan simbolik.
---
Mekanisme Hukum yang Disarankan untuk Meninjau Tap MPRS 1966
1. Pembentukan komisi independen yang terdiri dari ahli hukum konstitusi, sejarawan, perwakilan korban, dan perwakilan masyarakat sipil untuk menelaah setiap Tap: relevansi, konstitusionalitas, dan dampaknya pada hak asasi.
2. Proses publik dan partisipatif: dengarkan saksi, korban, dan akademisi lewat hearing publik---jangan biarkan perubahan dilakukan di balik meja.
3. Konversi larangan ide menjadi larangan tindakan kekerasan: reformulasi norma sehingga negara tetap mampu menindak kekerasan dan subversi nyata tanpa mengkriminalkan perdebatan ideologis.
4. Implementasi jangka bertahap: beberapa perubahan sensitif bisa diujicobakan melalui perundangan sementara dan evaluasi dampak sosial untuk mencegah disrupsi yang tidak perlu.
---
Penutup --- Antara Hati Nurani Sejarah dan Tuntutan Rakyat Kini
Warisan 1966 adalah bagian dari sejarah yang tidak bisa dihapus begitu saja. Tetapi sejarah bukan kitab suci; ia adalah sumber pengajaran. Ketetapan-ketetapan yang melindungi keselamatan warga dan tata kelola negara dapat dipertahankan --- dengan pembaruan akuntabilitas. Sementara ketetapan yang mengkriminalkan gagasan, memperkuat kultus figur, atau membungkam pers dan ruang sipil harus ditinjau ulang dan, bila perlu, dicabut.
Marhaenis dan rakyat marhaen harus menempatkan kepentingan rakyat --- pengentasan kemiskinan, stabilitas kerja, dan kebebasan politik --- sebagai meter pengujian utama. Sikapnya bukan retrograd: bukan mempertahankan semua warisan karena ia "warisan", melainkan menilai mana yang benar-benar melindungi dan membebaskan rakyat. Dalam demokrasi dewasa, keberanian intelektual untuk mengakui kesalahan masa lalu dan mengoreksinya adalah tanda kedewasaan politik --- dan itulah yang harus diperjuangkan oleh mereka yang menempatkan rakyat kecil di pusat politik.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI