Kepada Adelia maupun teman-teman barunya, Nabila hanya mengatakan bahwa ayahnya bekerja di pemerintahan. Tidak ada yang tahu bahwa ia sebenarnya putri seorang gubernur. Dan rahasia itu justru membuatnya lega.
Waktu berjalan. Memasuki kelas XI, Nabila memilih jurusan IPS. Hidupnya di sekolah swasta itu terasa lebih ringan. Ia bisa belajar, tertawa, dan bergaul tanpa harus merasa terbebani. Namun, sesuatu yang baru hadir dalam hatinya: perasaan yang tumbuh diam-diam pada seorang siswa kelas XI IPA 1, ketua OSIS bernama Dimas Harimurti Prayoga.
Dimas berbeda dari kebanyakan siswa populer yang pernah Nabila kenal. Ia sederhana, serius, dan selalu berfokus pada cita-cita. Nabila tahu, Dimas berasal dari keluarga biasa yang mengandalkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah. Justru ketekunan itulah yang membuat Nabila diam-diam kagum.
Dimas sebenarnya tahu bahwa Nabila menyukainya. Namun ia bersikap cuek, seolah perasaan itu tidak penting dibanding ambisinya mengejar prestasi dan beasiswa. Sementara Nabila, dengan segala caranya, tetap ingin menunjukkan perhatian.
Setiap pagi, ia sering diam-diam meletakkan sekotak susu dan sepotong sandwich di meja Dimas sebelum jam pelajaran dimulai. Saat Dimas berlatih futsal sore hari, Nabila selalu menyelipkan sebotol air mineral dan tisu di loker milik Dimas. Kadang ia menambahkan secarik sticky note dengan tulisan kecil yang manis: "Buat sarapan, cobain ya. Aku sendiri yang buat " atau "Semangat ya latihannya ."
Bagi Nabila, perhatian kecil itu adalah cara sederhana untuk mendekatkan hati. Namun, di balik setiap senyum dan catatan manis yang ia sisipkan, tersimpan harapan besar: agar Dimas suatu hari menyadari ketulusan perasaannya.
Dan tanpa sepengetahuan Dimas, setiap kali ada informasi tentang beasiswa, Nabila selalu membujuk ayahnya agar mempermudah jalannya. Ia ingin Dimas terus melangkah tanpa khawatir soal biaya, meski semua itu ia lakukan diam-diam, tanpa sedikit pun mengharap balasan.
Sejak hari pertama bertemu, persahabatan Nabila dan Adelia makin erat. Adel yang polos dan ceria sering mengajak Nabila bergaul dengan caranya sendiri. Suatu sore, sepulang sekolah, Adel berkata,
"Bi, ikut aku main ke rumah, yuk. Jangan langsung pulang terus."
Nabila mengangguk. Ia memang ingin tahu seperti apa rumah sahabat barunya itu. Rumah Adel sederhana, berada di gang kecil yang ramai anak-anak bermain. Nabila disambut hangat oleh ibunya Adel, lalu mereka menghabiskan waktu dengan bercanda di kamar Adel hingga sore menjelang.
Saat perut mulai keroncongan, Adel mengajak Nabila makan malam di warung tenda pinggir jalan. Meja kayu panjang dengan bangku plastik berjajar, lampu bohlam kuning temaram, dan aroma ayam goreng menyeruak begitu menggoda.