Adel semakin penasaran dengan sahabat barunya. Sejak malam itu di warung tenda, ia merasa ada yang disembunyikan Nabila. Akhirnya, di suatu sore, Adel memberanikan diri menegur,
"Bi, kalau kita sahabatan, jangan ada rahasia-rahasiain lagi, ya. Aku pengin kenal kamu apa adanya."
Nabila terdiam sejenak. Tatapan mata Adel yang polos membuatnya tak tega. Lalu ia mengangguk pelan. "Oke. Besok ikut aku pulang, ya. Aku bakal nunjukin semuanya."
Keesokan harinya, Adel menelan ludah saat mobil hitam menjemput mereka. Ia hampir tak percaya ketika mobil itu berhenti di depan rumah megah bergaya modern, yang lebih pantas disebut istana ketimbang rumah. Gerbangnya tinggi, halaman luas, dan kaca-kaca besar berkilauan terkena cahaya sore.
"Ya ampun, Bi..." Adel melongo. "Kamu tinggal di sini? Aku kira rumahmu... biasa-biasa aja."
Nabila terkekeh. "Makanya aku nggak mau cerita dulu. Aku takut kamu malah ilfeel."
Rumah itu begitu sepi. Hanya ada Bibi Salma dan beberapa pekerja rumah tangga yang menyapa ramah. Adel menatap sekeliling dengan kagum, sesekali merasa kikuk. Ia begitu canggung menapaki lantai marmer yang dingin berkilau, seolah takut meninggalkan jejak.
Saat sampai di kamar Nabila, Adel makin kaget. Kamar itu luasnya hampir seperti ruang kelas, lengkap dengan rak buku, lemari pakaian besar, dan balkon menghadap taman. Ia berdecak kagum. "Astaga, kamar kamu kayak hotel bintang lima!"
Nabila hanya tersenyum lalu menepuk tempat tidur, mengajak Adel duduk. Setelah beberapa menit berbincang, akhirnya ia mengaku, "Del... ada satu hal lagi yang belum aku ceritain. Aku lagi suka sama seseorang."
Adel langsung menegakkan tubuh. "Siapa? Jangan-jangan Zacky, kapten basket? Cowok paling keren sejagad SMA Tunas Harapan itu?"
Nabila menggeleng. "Bukan."