Usai rapat, Dimas menghampirinya. Ia tersenyum, lalu menjabat tangan Nabila. "Selamat, Bil. Kamu luar biasa. Aku... sebenarnya ingin minta maaf soal perkataan aku dulu."
Namun Nabila hanya tersenyum ringan. "Senang bisa bertemu teman satu alumni," balasnya, singkat, sebelum berbalik pergi.
Dimas tak menyerah. Ia bersuara lebih lantang. "Aku menyukaimu yang sekarang. Jika kamu masih memiliki rasa... aku akan siap menerimamu."
Langkah Nabila terhenti. Ia berbalik, berjalan mendekat dengan ekspresi yang sulit ditebak. Dimas tersenyum, berharap.
"Dim... kamu memang benar."
 Dimas menatapnya dengan sorot penuh harap. Senyum tipis muncul di wajahnya, percaya bahwa Nabila masih menyimpan rasa itu.
"Kamu benar... dulu aku memang nggak ada otak. Aku cuma bisa mikirin gimana caranya kasih perhatian ke kamu. Diam-diam taruh makanan, minuman, nulis sticky note buat kamu." Nabila menarik napas dalam, suaranya tenang tapi tajam. "Tapi sekarang... sorry, Dim. Selera aku udah bukan kamu."
Dimas membeku. Kata-kata itu menghantam dadanya, membuatnya sesak. Ia tak pernah membayangkan bahwa Nabila yang dulu ia remehkan kini menatapnya tanpa rasa.
Saat itu, dari ruang meeting lain muncul sosok pria tinggi, tampan, dan penuh wibawa. Wajahnya teduh, langkahnya mantap. Ia langsung menghampiri Nabila, menyapanya dengan hangat. Sosok itu adalah Nathan, presiden direktur perusahaan tempat Nabila bekerja.
"Nabila, good job. Kamu bikin presentasi yang luar biasa tadi," ucap Nathan sambil menjabat tangannya dengan penuh respek.
Nabila membalas dengan senyum anggun. Dimas hanya bisa berdiri terpaku, merasa begitu kecil. Apalah dirinya dibandingkan Nathan, sang pemimpin muda yang kharismatik.
 Dan di detik itu juga, Dimas sadar---Nabila telah jauh meninggalkannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI