Nabila hanya tersenyum tipis, menatap lantai kamarnya. "Mungkin karena justru dia beda. Dia nggak pernah lihat aku dari sisi popularitas atau penampilan. Dan entah kenapa, itu bikin aku nyaman."
Adel menatap sahabatnya yang kini tampak serius. Tawa kecilnya masih tersisa, tapi kini berganti dengan rasa iba sekaligus kagum. "Kamu gila juga, Bi. Tapi gila yang manis. Cuma kamu yang bisa jatuh cinta segila ini."
Dalam hati, Adel ingin membantu, meski tetap menganggap kisah cinta sahabatnya itu unik sekaligus kocak. Ia tak pernah tahu bahwa di balik perhatian kecil yang Nabila ceritakan, ada rahasia lain yang masih disimpan rapat-rapat: campur tangan Nabila dalam memudahkan jalan beasiswa Dimas.
Menjelang akhir kelas XII, suasana sekolah mulai dipenuhi obrolan tentang kelulusan dan rencana masa depan. Nabila menyiapkan botol air mineral dan sepotong roti buatan sendiri. Hari itu, ia bertekad akan memberikannya langsung pada Dimas---bukan lagi diam-diam lewat loker. Saran Adel terngiang di kepalanya: "Kalau kamu serius, Bi, tunjukin. Minimal biar dia tahu siapa yang selalu peduli."
Nabila melangkah ke ruang OSIS, tempat Dimas baru saja menyelesaikan rapat terakhirnya sebagai ketua. Dari kejauhan, ia melihat Dimas berdiri bersama Raka, sahabat sekaligus wakil ketua OSIS.
"Selamat ya, Dim," ucap Raka sambil menepuk bahu temannya. "Beasiswamu ke perguruan tinggi akhirnya lolos juga. Bangga banget gue."
Dimas tersenyum tipis. "Ya, perjuangan panjang, Rak. Tapi akhirnya terbayar."
Langkah Nabila terhenti tepat di belakang mereka. Ia tidak sengaja mendengar percakapan yang kemudian membuat dadanya sesak.
"Eh, soal Nabila anak IPS gimana?" suara Raka menurun, tapi cukup jelas terdengar. "Udah lama, kan, dia ngejar kamu?"
Dimas mendengus ringan. "Biarin aja. Ngejar kayak perempuan nggak punya harga diri."
Nabila membeku.