Mohon tunggu...
dewi sulis
dewi sulis Mohon Tunggu... guru

Saya adalah seorang guru. Menulis adalah salah satu cara mengekspresikan suasana hati yang tak sempat diucapkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Have a Crush On You

21 September 2025   15:31 Diperbarui: 21 September 2025   15:42 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Have a Crush On You (dok : dewi sulis)

Nabila Harasta adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakak laki-lakinya telah lebih dulu menorehkan prestasi membanggakan. Kenzo Harasta, si sulung, adalah diplomat muda yang kini menetap di Dubai. Sementara Reyhan Harasta, anak kedua, masih menempuh semester akhir di universitas ternama dengan jurusan Metalurgi. Sejak semester enam, ia bahkan sudah dipercaya bekerja sebagai engineering di sebuah perusahaan tambang swasta.

Berbeda dengan kedua kakaknya, Nabila justru tumbuh sebagai gadis yang biasa-biasa saja. Ia bukan tipe anak rajin, apalagi cerdas. Bagi Nabila, belajar bukanlah hal yang penting. Ia tahu, dengan koneksi sang ayah---seorang gubernur yang cukup berpengaruh---tidak ada sekolah yang berani menolaknya. Hidupnya santai, seolah dunia sudah menjamin semua kebutuhannya.

Namun, Nabila memiliki sisi menarik yang jarang diketahui orang lain. Di balik sikapnya yang cuek pada pelajaran, ia menyimpan kegemaran memasak. Bersama Bibi Salma, asisten rumah tangga yang sudah lama menemani keluarganya, Nabila kerap bereksperimen dengan berbagai resep. Dari dapur rumahnya, aroma masakan kerap menjadi pengingat bahwa ia punya bakat yang tidak dimiliki siapa pun di keluarganya.

Meski tak menonjol di bidang akademik, di sekolah Nabila justru menjadi sosok idola. Wajah cantiknya yang selalu ditunjang penampilan glamour membuat namanya dikenal luas di SMP Internasional tempat ia bersekolah. Apalagi, ia menjabat sebagai ketua cheerleader---posisi yang otomatis membuatnya semakin populer. Banyak teman mendekat, entah karena ingin menumpang popularitas, atau sekadar memanfaatkan kebaikannya.

Nabila Harasta, sang putri bungsu keluarga terpandang, mungkin terlihat sempurna di mata orang lain. Namun jauh di balik sorot mata glamournya, tersimpan cerita tentang seorang gadis yang masih mencari arti dirinya sendiri.

Setelah pembagian rapor kelulusan, suasana rumah keluarga Harasta begitu hangat. Di ruang keluarga, Ayah dan Ibu duduk berdampingan, sementara Kenzo--yang dipaksa pulang--dan Reyhan sibuk memberikan saran. Nabila hanya diam mendengarkan.

"Ayah rasa SMA Internasional Global pilihan terbaik untukmu, Bi," ucap Ayah mantap. "Sekolah itu punya fasilitas lengkap, guru-gurunya juga berkualitas."

Ibu mengangguk setuju. "Selain itu, ada banyak program ke luar negeri. Kesempatan langka yang sayang kalau dilewatkan."

Kenzo ikut menimpali, "Nama sekolahnya saja sudah menjanjikan, Nabila. Akan bagus untuk masa depanmu."

Reyhan menambahkan dengan nada meyakinkan, "Lingkungan internasional bisa bikin kamu lebih semangat belajar. Percaya deh, itu akan banyak membantu."

Nabila menggigit bibir bawahnya. Hatinya sesak. Sejak tadi ia hanya mendengar orang lain bicara, sementara pikirannya berteriak ingin didengar. Akhirnya, ia menarik napas dalam-dalam.

"Aku nggak mau sekolah di SMA internasional," katanya pelan tapi tegas.

Suasana mendadak hening. Semua orang menoleh padanya, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia ucapkan.

Ibu bertanya hati-hati, "Kenapa, sayang? Bukannya itu pilihan terbaik?"

Nabila menunduk sejenak sebelum menatap wajah keluarganya. "Aku capek, Bu. Selama ini aku merasa harus pura-pura bisa mengikuti standar mereka, padahal aku sadar aku biasa saja. Aku cuma ingin sekolah di tempat yang lebih sederhana. Mungkin di sana aku bisa jadi diri sendiri. Bisa punya teman yang benar-benar tulus, bukan karena nama keluarga kita."

Ayah menatap Nabila lama, lalu menarik napas dalam. "Jadi maksudmu, kamu ingin sekolah di SMA swasta biasa?"

"Iya, Yah," jawab Nabila mantap. "Aku dengar SMA Tunas Harapan cukup bagus. Aku ingin sekolah di sana."

Ibu sempat membuka mulut, hendak menolak, tapi Ayah lebih dulu menepuk bahunya lembut. "Biarkan dia memilih jalannya sendiri. Kalau itu membuatnya lebih nyaman, kita dukung."

Mata Nabila langsung berbinar. Untuk pertama kalinya, ia merasa keputusannya dihargai. "Terima kasih, Yah... Bu. Aku janji akan sungguh-sungguh."

Hari pertama masuk SMA Tunas Harapan, Nabila melangkah dengan hati berdebar. Seragam putih abu-abunya tampak sederhana, jauh berbeda dari penampilan glamournya saat SMP internasional dulu. Kali ini ia bertekad untuk benar-benar menjadi dirinya sendiri, tanpa embel-embel nama besar keluarga.

Di kelas, ia bertemu dengan seorang gadis ramah bernama Adelia. Wajahnya manis, sikapnya hangat, dan tutur katanya sederhana. Dari obrolan ringan, Nabila tahu bahwa Adelia berasal dari keluarga biasa. Ayahnya bekerja di kantor kelurahan, sementara ibunya seorang pegawai administrasi toko. Entah mengapa, justru dari kesederhanaan itu Nabila merasa nyaman. Ia bisa tertawa lepas, tanpa ada yang menyanjung berlebihan, tanpa rasa curiga akan kepentingan tersembunyi.

Kepada Adelia maupun teman-teman barunya, Nabila hanya mengatakan bahwa ayahnya bekerja di pemerintahan. Tidak ada yang tahu bahwa ia sebenarnya putri seorang gubernur. Dan rahasia itu justru membuatnya lega.

Waktu berjalan. Memasuki kelas XI, Nabila memilih jurusan IPS. Hidupnya di sekolah swasta itu terasa lebih ringan. Ia bisa belajar, tertawa, dan bergaul tanpa harus merasa terbebani. Namun, sesuatu yang baru hadir dalam hatinya: perasaan yang tumbuh diam-diam pada seorang siswa kelas XI IPA 1, ketua OSIS bernama Dimas Harimurti Prayoga.

Dimas berbeda dari kebanyakan siswa populer yang pernah Nabila kenal. Ia sederhana, serius, dan selalu berfokus pada cita-cita. Nabila tahu, Dimas berasal dari keluarga biasa yang mengandalkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah. Justru ketekunan itulah yang membuat Nabila diam-diam kagum.

Dimas sebenarnya tahu bahwa Nabila menyukainya. Namun ia bersikap cuek, seolah perasaan itu tidak penting dibanding ambisinya mengejar prestasi dan beasiswa. Sementara Nabila, dengan segala caranya, tetap ingin menunjukkan perhatian.

Setiap pagi, ia sering diam-diam meletakkan sekotak susu dan sepotong sandwich di meja Dimas sebelum jam pelajaran dimulai. Saat Dimas berlatih futsal sore hari, Nabila selalu menyelipkan sebotol air mineral dan tisu di loker milik Dimas. Kadang ia menambahkan secarik sticky note dengan tulisan kecil yang manis: "Buat sarapan, cobain ya. Aku sendiri yang buat " atau "Semangat ya latihannya ."

Bagi Nabila, perhatian kecil itu adalah cara sederhana untuk mendekatkan hati. Namun, di balik setiap senyum dan catatan manis yang ia sisipkan, tersimpan harapan besar: agar Dimas suatu hari menyadari ketulusan perasaannya.

Dan tanpa sepengetahuan Dimas, setiap kali ada informasi tentang beasiswa, Nabila selalu membujuk ayahnya agar mempermudah jalannya. Ia ingin Dimas terus melangkah tanpa khawatir soal biaya, meski semua itu ia lakukan diam-diam, tanpa sedikit pun mengharap balasan.

Sejak hari pertama bertemu, persahabatan Nabila dan Adelia makin erat. Adel yang polos dan ceria sering mengajak Nabila bergaul dengan caranya sendiri. Suatu sore, sepulang sekolah, Adel berkata,

"Bi, ikut aku main ke rumah, yuk. Jangan langsung pulang terus."

Nabila mengangguk. Ia memang ingin tahu seperti apa rumah sahabat barunya itu. Rumah Adel sederhana, berada di gang kecil yang ramai anak-anak bermain. Nabila disambut hangat oleh ibunya Adel, lalu mereka menghabiskan waktu dengan bercanda di kamar Adel hingga sore menjelang.

Saat perut mulai keroncongan, Adel mengajak Nabila makan malam di warung tenda pinggir jalan. Meja kayu panjang dengan bangku plastik berjajar, lampu bohlam kuning temaram, dan aroma ayam goreng menyeruak begitu menggoda.

"Di sini enak banget, Bi. Favoritku dari dulu," ujar Adel sambil menarik tangan Nabila duduk.

Warung itu sederhana, menunya ayam dan bebek goreng dengan sambal pedas. Yang membuat Nabila terkejut adalah cara makannya. Nasi dan minuman harus mengambil sendiri dari meja panjang di pojok. Adel dengan santai menumpuk nasi cukup banyak di piringnya, lalu mengambil segelas es teh.

Nabila mengikuti, tapi matanya membesar melihat sahabatnya. "Del, kamu... kamu nggak takut kalau dihitung dobel sama penjualnya? Kamu ngambil nasi banyak banget!" bisiknya setengah panik.

Adel menahan tawa. "Lho, emang begitu caranya. Mau ambil nasi sepiring gunung juga harganya sama, kok."

Nabila makin bingung. "Masa sih? Jangan-jangan kamu merampok penjualnya, ya?" katanya pelan, serius tapi polos.

Mendengar itu, Adel langsung terbahak-bahak hingga membuat beberapa pengunjung lain menoleh. "Astaga, Nabila! Kamu lucu banget. Baru pertama kali makan di warung tenda, ya?"

Wajah Nabila memerah. Ia mengangguk canggung, lalu ikut tertawa bersama Adel. Namun di hati kecilnya, ia merasa hangat. Untuk pertama kalinya, ia menikmati makan malam sederhana dengan cara yang berbeda.

Saat mereka selesai makan dan membayar, Nabila terperanjat melihat harganya yang sangat murah. Lebih murah dari sekadar minuman di kafe mewah langganannya dulu. Ia hampir tidak percaya.

Dalam perjalanan pulang, Adel menatap Nabila dengan tatapan penuh tanya. Ia mulai curiga dengan latar belakang sahabatnya. Apalagi ketika sebuah mobil hitam berhenti di depan warung, dan seorang sopir turun untuk membukakan pintu bagi Nabila.

Adel hanya terdiam, menyimpan rasa penasaran. Sementara Nabila masuk ke dalam mobil, melambaikan tangan dengan senyum ceria, seolah tidak ada yang perlu dijelaskan.

Persahabatan mereka baru saja dimulai, tapi Adel tahu, Nabila menyimpan rahasia besar tentang dirinya.

Adel semakin penasaran dengan sahabat barunya. Sejak malam itu di warung tenda, ia merasa ada yang disembunyikan Nabila. Akhirnya, di suatu sore, Adel memberanikan diri menegur,

"Bi, kalau kita sahabatan, jangan ada rahasia-rahasiain lagi, ya. Aku pengin kenal kamu apa adanya."

Nabila terdiam sejenak. Tatapan mata Adel yang polos membuatnya tak tega. Lalu ia mengangguk pelan. "Oke. Besok ikut aku pulang, ya. Aku bakal nunjukin semuanya."

Keesokan harinya, Adel menelan ludah saat mobil hitam menjemput mereka. Ia hampir tak percaya ketika mobil itu berhenti di depan rumah megah bergaya modern, yang lebih pantas disebut istana ketimbang rumah. Gerbangnya tinggi, halaman luas, dan kaca-kaca besar berkilauan terkena cahaya sore.

"Ya ampun, Bi..." Adel melongo. "Kamu tinggal di sini? Aku kira rumahmu... biasa-biasa aja."

Nabila terkekeh. "Makanya aku nggak mau cerita dulu. Aku takut kamu malah ilfeel."

Rumah itu begitu sepi. Hanya ada Bibi Salma dan beberapa pekerja rumah tangga yang menyapa ramah. Adel menatap sekeliling dengan kagum, sesekali merasa kikuk. Ia begitu canggung menapaki lantai marmer yang dingin berkilau, seolah takut meninggalkan jejak.

Saat sampai di kamar Nabila, Adel makin kaget. Kamar itu luasnya hampir seperti ruang kelas, lengkap dengan rak buku, lemari pakaian besar, dan balkon menghadap taman. Ia berdecak kagum. "Astaga, kamar kamu kayak hotel bintang lima!"

Nabila hanya tersenyum lalu menepuk tempat tidur, mengajak Adel duduk. Setelah beberapa menit berbincang, akhirnya ia mengaku, "Del... ada satu hal lagi yang belum aku ceritain. Aku lagi suka sama seseorang."

Adel langsung menegakkan tubuh. "Siapa? Jangan-jangan Zacky, kapten basket? Cowok paling keren sejagad SMA Tunas Harapan itu?"

Nabila menggeleng. "Bukan."

"Terus siapa?"

"Dimas," jawab Nabila lirih.

Adel menatap sahabatnya, lalu tiba-tiba terbahak-bahak sampai nyaris terjatuh dari tempat tidur. "Serius, Bi? Kamu ini lucu banget! Semua cewek ngejar-ngejar Zacky, yang notabene cowok paling hits di sekolah. Eh, kamu malah naksir Dimas, si ketua OSIS yang dinginnya kayak kulkas, nggak punya keren-kerenan kecuali otaknya doang."

Wajah Nabila memerah. "Ya ampun, Del! Aku serius, lho..."

Adel masih menahan tawa sambil menggeleng tak percaya. "Ya, ya, aku tahu kamu serius. Tapi beneran deh, Nabila Harasta, si cheerleader paling populer di sekolah, jatuh hati sama cowok kutu buku dingin itu. Kamu nggak ada matinya!"

Meski ditertawakan, Nabila hanya tersenyum malu. Hatinya lega karena akhirnya ia bisa jujur pada sahabat yang paling bisa ia percaya.

del masih tergelak saat mendengar pengakuan Nabila. "Serius, Bi? Kamu... kamu beneran sering naro makanan di loker Dimas?!" suaranya meninggi, lalu kembali terbahak-bahak.

Nabila menunduk, wajahnya merah padam. "Iya, terus kenapa? Aku cuma... ya, pengin dia nggak lupa sarapan atau kehausan pas latihan futsal."

Adel menepuk paha sambil ngakak. "Astaga, Nabila! Jadi selama ini sticky note lucu dengan emotikon senyum itu dari kamu? Nggak nyangka! Dimas pasti mikir ada fans rahasia. Eh, ternyata ketua cheerleader sekolah sendiri!"

Nabila menatap kesal tapi malu. "Jangan diketawain terus, dong. Aku serius, Del. Aku pengin dia tahu aku peduli. Meskipun dia dingin banget, aku tetap suka."

Adel masih mengusap matanya yang berair karena kebanyakan tertawa. "Ya Tuhan... kamu ini bener-bener nggak bisa ditebak. Kalau cewek lain naksir cowok keren macam Zacky, kamu malah jatuh hati sama Dimas. Cowok kaku, kutu buku, yang dinginnya kebangetan. Aku nggak ngerti jalan pikiranmu, Bi."

Nabila hanya tersenyum tipis, menatap lantai kamarnya. "Mungkin karena justru dia beda. Dia nggak pernah lihat aku dari sisi popularitas atau penampilan. Dan entah kenapa, itu bikin aku nyaman."

Adel menatap sahabatnya yang kini tampak serius. Tawa kecilnya masih tersisa, tapi kini berganti dengan rasa iba sekaligus kagum. "Kamu gila juga, Bi. Tapi gila yang manis. Cuma kamu yang bisa jatuh cinta segila ini."

Dalam hati, Adel ingin membantu, meski tetap menganggap kisah cinta sahabatnya itu unik sekaligus kocak. Ia tak pernah tahu bahwa di balik perhatian kecil yang Nabila ceritakan, ada rahasia lain yang masih disimpan rapat-rapat: campur tangan Nabila dalam memudahkan jalan beasiswa Dimas.

Menjelang akhir kelas XII, suasana sekolah mulai dipenuhi obrolan tentang kelulusan dan rencana masa depan. Nabila menyiapkan botol air mineral dan sepotong roti buatan sendiri. Hari itu, ia bertekad akan memberikannya langsung pada Dimas---bukan lagi diam-diam lewat loker. Saran Adel terngiang di kepalanya: "Kalau kamu serius, Bi, tunjukin. Minimal biar dia tahu siapa yang selalu peduli."

Nabila melangkah ke ruang OSIS, tempat Dimas baru saja menyelesaikan rapat terakhirnya sebagai ketua. Dari kejauhan, ia melihat Dimas berdiri bersama Raka, sahabat sekaligus wakil ketua OSIS.

"Selamat ya, Dim," ucap Raka sambil menepuk bahu temannya. "Beasiswamu ke perguruan tinggi akhirnya lolos juga. Bangga banget gue."

Dimas tersenyum tipis. "Ya, perjuangan panjang, Rak. Tapi akhirnya terbayar."

Langkah Nabila terhenti tepat di belakang mereka. Ia tidak sengaja mendengar percakapan yang kemudian membuat dadanya sesak.

"Eh, soal Nabila anak IPS gimana?" suara Raka menurun, tapi cukup jelas terdengar. "Udah lama, kan, dia ngejar kamu?"

Dimas mendengus ringan. "Biarin aja. Ngejar kayak perempuan nggak punya harga diri."

Nabila membeku.

Raka terkesiap. "Lho, kok kamu tega sih? Padahal cantik, loh. Mantan kapten cheerleader lagi."

Dimas menoleh sebentar lalu menjawab dingin, "Cantik apanya? Otaknya kosong. Cuma bisa kecentilan doang."

Seperti ada palu besar menghantam dada Nabila. Kata-kata itu menelusup tajam, lebih menyakitkan daripada apapun yang pernah ia dengar. Tangannya bergetar, hampir saja menjatuhkan botol yang ia genggam.

Saat itu juga Raka melihatnya. Wajahnya berubah panik. "Dim... ada Nabila."

Dimas menoleh. Ekspresinya datar, seakan ia tak merasa baru saja mengucapkan kata-kata yang menghancurkan hati seseorang.

Dengan sekuat tenaga, Nabila melangkah maju. Ia mengulurkan botol air dan roti ke arah Dimas. Senyumnya dipaksakan, bibirnya nyaris bergetar.

"Selamat ya, Dim. Aku dengar kamu berhasil dapat beasiswa. Semoga sukses."

Belum sempat Dimas menjawab, Nabila berbalik dan berlari keluar. Air matanya tumpah, meski ia berusaha menahan. Senyum yang tadi ia tunjukkan hanyalah topeng rapuh. Di dalam hatinya, kata-kata Dimas terus bergema, menyayat lebih dalam daripada yang ia kira.

Sejak kejadian itu, Nabila tidak masuk sekolah. Ia memilih mengunci diri di kamar, menolak bertemu siapa pun. Wajahnya kusut, rambut berantakan seperti belum sempat disisir, matanya sembap karena terlalu banyak menangis.

Maminya khawatir, bolak-balik mengetuk pintu kamar, bahkan sempat membujuk dengan suara lembut. Maminya bahkan mengundang Adel untuk dating.
"Nak, tolong buka pintunya. Kamu tahu, kan, permintaanmu waktu itu sudah disetujui Papa? Nama Dimas sudah diluluskan untuk beasiswa. Jangan terus menyiksa diri begini."
Adel yang sudah berada di depan p[intu kamar langsung mengetuk pintu keras-keras.
"Bil, kalau kamu gak buka pintu, aku dobrak nih. Ayo cepat!"

Suara Adel selalu terdengar tegas, dan benar saja, tak lama kemudian pintu kamar terbuka. Adel tercekat sejenak melihat kondisi Nabila. Rambutnya acak-acakan, wajahnya pucat, baju rumahnya tampak kusut. Tapi yang membuat Adel terdiam bukan itu---melainkan ekspresi sahabatnya. Bukan lagi murung, melainkan ada semacam tekad di sana.

"Aku sudah cukup, Del," ucap Nabila pelan. "Mungkin aku selama ini salah. Aku sibuk ngejar orang yang bahkan gak pernah peduli, sampai lupa sama diriku sendiri. Aku lihat keluarga aku semuanya cerdas, bisa berprestasi. Aku juga bisa kok... asal aku rajin. Mungkin selama ini aku aja yang malas."

Adel mendengus, masih kesal.
 "Tapi Bil, aku tetep gak bisa terima cara Dimas ngomongin kamu. Seenaknya banget cowok itu."

Nabila tersenyum tipis, mencoba menenangkan sahabatnya. "Biarin aja, Del. Aku gak mau buang energi lagi buat orang kayak gitu. Mulai sekarang, aku mau fokus jadi lebih baik... buat diri aku sendiri."

Adel hanya bisa menatap Nabila lama, sedikit kagum sekaligus terharu. Ia sadar, sahabatnya benar-benar sudah berubah.

Sejak tekad itu, Nabila benar-benar berubah. Ia semakin rajin belajar, bahkan sering memaksa Reyhan, kakaknya yang kuliah di jurusan teknik, untuk pulang akhir pekan dan mengajarinya. Tak hanya untuk dirinya, Nabila juga melibatkan Adel. "Sekalian aja, Del. Biar kita sama-sama pinter," katanya sambil tertawa kecil. Adel pun setuju, meski diam-diam ia justru menaruh hati pada Reyhan yang cerdas, sabar, dan mandiri.

Waktu berlalu. Hingga tiba hari kelulusan, Nabila membuktikan ucapannya. Ia dinobatkan sebagai juara dua jurusan IPS. Adel menjadi saksi betapa sahabatnya itu bangkit. Namun, di hari yang sama, Dimas---yang juga hadir sebagai siswa berprestasi IPA---tak menemukan sosok Nabila di barisan kursi kelulusan. Nabila sudah berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah.

Lima tahun kemudian...

Nabila tumbuh menjadi sosok yang jauh berbeda. Elegan, percaya diri, dan matang. Ia bekerja sebagai Strategic Partnership Manager di sebuah perusahaan multinasional ternama. Suatu hari, dalam sebuah tender penting, Nabila duduk di ruang meeting besar, menunggu presentasi lawan. Jantungnya sempat berdegup lebih cepat saat pintu terbuka, menampakkan sosok yang tak asing baginya.

Dimas.
 Masih dengan sorot mata cerdas yang dulu ia kagumi, kini berdiri di sisi lawan.

Presentasi berjalan. Dimas dengan gaya khasnya yang tegas dan percaya diri memaparkan profil perusahaannya, strategi, hingga tawaran kerja sama. Ia tampil brilian. Namun, Nabila sama sekali tidak gentar. Bertahun-tahun ia sudah ditempa persaingan ketat. Saat gilirannya tiba, ia berbicara lugas, runut, penuh elegansi. Argumentasinya kuat, strateginya lebih matang.

Akhirnya, Nabila lah yang memenangkan tender.

Usai rapat, Dimas menghampirinya. Ia tersenyum, lalu menjabat tangan Nabila. "Selamat, Bil. Kamu luar biasa. Aku... sebenarnya ingin minta maaf soal perkataan aku dulu."

Namun Nabila hanya tersenyum ringan. "Senang bisa bertemu teman satu alumni," balasnya, singkat, sebelum berbalik pergi.

Dimas tak menyerah. Ia bersuara lebih lantang. "Aku menyukaimu yang sekarang. Jika kamu masih memiliki rasa... aku akan siap menerimamu."

Langkah Nabila terhenti. Ia berbalik, berjalan mendekat dengan ekspresi yang sulit ditebak. Dimas tersenyum, berharap.

"Dim... kamu memang benar."
 Dimas menatapnya dengan sorot penuh harap. Senyum tipis muncul di wajahnya, percaya bahwa Nabila masih menyimpan rasa itu.

"Kamu benar... dulu aku memang nggak ada otak. Aku cuma bisa mikirin gimana caranya kasih perhatian ke kamu. Diam-diam taruh makanan, minuman, nulis sticky note buat kamu." Nabila menarik napas dalam, suaranya tenang tapi tajam. "Tapi sekarang... sorry, Dim. Selera aku udah bukan kamu."

Dimas membeku. Kata-kata itu menghantam dadanya, membuatnya sesak. Ia tak pernah membayangkan bahwa Nabila yang dulu ia remehkan kini menatapnya tanpa rasa.

Saat itu, dari ruang meeting lain muncul sosok pria tinggi, tampan, dan penuh wibawa. Wajahnya teduh, langkahnya mantap. Ia langsung menghampiri Nabila, menyapanya dengan hangat. Sosok itu adalah Nathan, presiden direktur perusahaan tempat Nabila bekerja.

"Nabila, good job. Kamu bikin presentasi yang luar biasa tadi," ucap Nathan sambil menjabat tangannya dengan penuh respek.

Nabila membalas dengan senyum anggun. Dimas hanya bisa berdiri terpaku, merasa begitu kecil. Apalah dirinya dibandingkan Nathan, sang pemimpin muda yang kharismatik.
 Dan di detik itu juga, Dimas sadar---Nabila telah jauh meninggalkannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun