"Aku sudah cukup, Del," ucap Nabila pelan. "Mungkin aku selama ini salah. Aku sibuk ngejar orang yang bahkan gak pernah peduli, sampai lupa sama diriku sendiri. Aku lihat keluarga aku semuanya cerdas, bisa berprestasi. Aku juga bisa kok... asal aku rajin. Mungkin selama ini aku aja yang malas."
Adel mendengus, masih kesal.
 "Tapi Bil, aku tetep gak bisa terima cara Dimas ngomongin kamu. Seenaknya banget cowok itu."
Nabila tersenyum tipis, mencoba menenangkan sahabatnya. "Biarin aja, Del. Aku gak mau buang energi lagi buat orang kayak gitu. Mulai sekarang, aku mau fokus jadi lebih baik... buat diri aku sendiri."
Adel hanya bisa menatap Nabila lama, sedikit kagum sekaligus terharu. Ia sadar, sahabatnya benar-benar sudah berubah.
Sejak tekad itu, Nabila benar-benar berubah. Ia semakin rajin belajar, bahkan sering memaksa Reyhan, kakaknya yang kuliah di jurusan teknik, untuk pulang akhir pekan dan mengajarinya. Tak hanya untuk dirinya, Nabila juga melibatkan Adel. "Sekalian aja, Del. Biar kita sama-sama pinter," katanya sambil tertawa kecil. Adel pun setuju, meski diam-diam ia justru menaruh hati pada Reyhan yang cerdas, sabar, dan mandiri.
Waktu berlalu. Hingga tiba hari kelulusan, Nabila membuktikan ucapannya. Ia dinobatkan sebagai juara dua jurusan IPS. Adel menjadi saksi betapa sahabatnya itu bangkit. Namun, di hari yang sama, Dimas---yang juga hadir sebagai siswa berprestasi IPA---tak menemukan sosok Nabila di barisan kursi kelulusan. Nabila sudah berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah.
Lima tahun kemudian...
Nabila tumbuh menjadi sosok yang jauh berbeda. Elegan, percaya diri, dan matang. Ia bekerja sebagai Strategic Partnership Manager di sebuah perusahaan multinasional ternama. Suatu hari, dalam sebuah tender penting, Nabila duduk di ruang meeting besar, menunggu presentasi lawan. Jantungnya sempat berdegup lebih cepat saat pintu terbuka, menampakkan sosok yang tak asing baginya.
Dimas.
 Masih dengan sorot mata cerdas yang dulu ia kagumi, kini berdiri di sisi lawan.
Presentasi berjalan. Dimas dengan gaya khasnya yang tegas dan percaya diri memaparkan profil perusahaannya, strategi, hingga tawaran kerja sama. Ia tampil brilian. Namun, Nabila sama sekali tidak gentar. Bertahun-tahun ia sudah ditempa persaingan ketat. Saat gilirannya tiba, ia berbicara lugas, runut, penuh elegansi. Argumentasinya kuat, strateginya lebih matang.
Akhirnya, Nabila lah yang memenangkan tender.