Aku tatap bungkusan lumpur itu. Dia juga menyodorkan dua lembar daun jambu.
"Mas Raka, aku bayar ya yang pinjam mobil baiknya. Besok kalau aku udah gede dan punya uang, aku bayar pakai uang Inggris yang gambarnya orang gigit batu. Sekarang aku bayarnya pakai ini dulu, daunnya paling bagus, Mas. Udah aku gambar bunga juga."
Aku terdiam. Mau marah---gak bisa. Mau ketawa---juga bingung. Saat kubuka lumpur itu, benar saja, Hot Wheels-ku ada di dalamnya. Penuh tanah, tapi masih utuh.
"Kinaaaaannnn!! Bocil boooollaaaang!!"
Aku melengking. Tapi si Ratu Ular Daun Jambu itu sudah lari ke pelukan Mami. Pura-pura jadi korban. Dan seperti biasa, pawangku langsung melotot. Mau marah? Gak jadi.
Potongan-potongan kecil yang tak pernah benar-benar hilang dari kepalaku. Seolah tertempel di sudut ingatan yang tak bisa dihapus.
Dan kini, gadis itu---Kinanti---berdiri di atas podium. Menerima penghargaan sebagai desainer muda berbakat tahun ini. Cahaya sorot menyinarinya, gaun pastel membingkai tubuhnya, dan rambut panjangnya kini tersisir rapi, tak lagi dikuncir kuda. Matanya tetap berbinar, tapi tak lagi mencari-cari bayanganku.
Aku hanya bisa memandangnya dari jauh.
Setelah empat belas tahun kami terpisah,
masihkah aku lelaki yang paling dia idolakan?
Masihkah aku lelaki yang dulu dia anggap tahu segalanya?
Kini, aku bahkan tak tahu...
Apakah aku masih pantas berharap dia melirikku---
meski hanya sebentar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI