Mohon tunggu...
dewi sulis
dewi sulis Mohon Tunggu... guru

Saya adalah seorang guru. Menulis adalah salah satu cara mengekspresikan suasana hati yang tak sempat diucapkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

The Real Kinanti

17 Juli 2025   20:42 Diperbarui: 17 Juli 2025   20:42 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kinanti kecil, si bolang sejati (sumber: Wira)

Waktu itu aku masih kelas enam SD. Om Edwin dan Tante Mitha berseri-seri seperti baru mendapat hadiah dari surga. Wajar saja, mereka sudah menanti kehadiran anak selama tiga belas tahun. Padahal mereka menikah lebih dulu dari Papi dan Mami, tapi justru aku yang lebih dulu lahir.

Mami dan Papi ikut bahagia. Dan sebagai bocah SD yang masih suka gelendotan sama Mami, aku ikut terseret dalam euforia mereka. Bayi mungil berkulit putih, pipi bulat menggemaskan, dan---ya ampun---rambutnya lebat sekali untuk ukuran bayi.

Sejak saat itu, Mami makin sering main ke rumah Om Edwin. Aku, yang masih senang ikut ke mana pun Mami pergi, jadi sering juga menggendong si bayi Kinanti. Hari berganti, bulan berlalu. Bayi cantik itu tumbuh jadi bocil bolang sejati. Hari-harinya habis menjelajah kebon, mencari belalang, menangkap ikan di kali, atau manjat pohon jambu di belakang rumah. Tangannya selalu kotor, pipinya selalu merah, rambutnya selalu kusut dikuncir kuda. Penampilannya lebih sering berantakan daripada rapi. Jika bukan karena ibunya yang selalu menjemputnya saat magrib, orang pasti akan mengira Kinan itu anak tukang kebun di rumahku.

Tapi satu hal yang selalu konsisten dari bocah itu: dia ngefans berat sama aku.

Setiap kali suara motorku terdengar dari ujung gang, Kinan langsung muncul seperti hantu kecil. Entah dari balik semak, balik pagar, atau dari sungai belakang. Kadang masih bawa cup plastik isi belut, kadang malah berlumuran lumpur dari kepala sampai kaki.

"Mas Raka! Mas Rakaaa! Mas Raka tau ular gak?!"

Dengan suara cempreng dan mata berbinar, dia lari ke arahku. Aku yang baru pulang sekolah, masih ngos-ngosan dan bau matahari, cuma bisa mendesah lelah.

"Gak tau!!" ucapku sekenanya, melengos masuk rumah. Tapi aku tahu, bocil itu pasti nginthil.

Benar saja. Lantai yang baru dipel Bibi Erna langsung penuh jejak kaki mungil dan basah.

"Mas Raka... tadi aku main ke rumah Cici. Ada ular jam masuk rumah! Besaaaar banget! Segede sapi!"
Aku refleks menoleh dengan ekspresi horor. "Ular jam??"

"Iya! Temennya ular sendhok itu, yang kepalanya bisa mekar. Masak Mas Raka nggak tau? Katanya udah sekolah sepuluh!"
Tangannya menangkup di atas kepala, menirukan bentuk kobra. Serius banget, kayak presenter National Geographic versi Klaten.

Aku nyaris nyembur air minum ke lantai.
"Hadeh... bocil-bocil! Itu namanya ular kobra, Kin!"

Kinan cemberut. "Tapi Cici bilangnya ular jam."

"Iya, iya... temennya ular sendhok ya. Besok main sekalian ke TPU Jatirejo, di sana banyak ular. Bisa sekalian temenan ama ular gelas, ular piring, ular sendok, bahkan ular kasur. Capek? Bobok di situ juga bisa."

"Beneran, Mas?"
"Beneran dong. Kamu bisa jadi Ratu Ular. Mahkotanya dari cangkang bekicot!"

Belum sempat dia membalas, suara melengking dari dapur terdengar.
"Rakaaa! Jangan ngajari yang aneh-aneh ke anak orang!"

"Eh, itu Mami. Bye, bocil bolang!"
Aku langsung kabur ke kamar sambil ngakak puas.

Tapi hari paling kuingat adalah hari saat Hot Wheels limited edition milikku raib. Aku baru pulang dari rumah Nando, lelah setelah tanding futsal. Begitu masuk kamar, mainan kesayanganku hilang. Aku ngamuk total. Semua barang kuacak-acak. Bibi Erna sampai pucat melihat aku marah---padahal biasanya aku kalem.

Hot Wheels itu bukan sekadar mainan. Aku dapatkannya setelah menang tanding bela diri melawan The Secreet, atlet petarung lokal yang brutal. Aku menang, tapi harus dijahit di pelipis dan bibir. Jadi ya, itu bukan mobil biasa. Itu trofi hidup.

Di tengah kekacauan, muncullah Kinan. Bocah kecil berambut kuncir kuda, wajahnya belepotan lumpur, datang dari arah kebon sambil menyodorkan sesuatu yang dibungkus tanah sawah.

"Mas Raka jangan nangis ya, Mas Raka kan anak baik."
Aku yang sedang emosi, tambah kesal. Tapi dia lanjut, polos sekali:
"Mas Raka, tadi mobilnya udah baik banget. Udah nyelametin putri raja yang jatuh ke sungai. Nih, sekarang mobilnya mau pulang ke garasi Mas Raka."

Aku tatap bungkusan lumpur itu. Dia juga menyodorkan dua lembar daun jambu.

"Mas Raka, aku bayar ya yang pinjam mobil baiknya. Besok kalau aku udah gede dan punya uang, aku bayar pakai uang Inggris yang gambarnya orang gigit batu. Sekarang aku bayarnya pakai ini dulu, daunnya paling bagus, Mas. Udah aku gambar bunga juga."

Aku terdiam. Mau marah---gak bisa. Mau ketawa---juga bingung. Saat kubuka lumpur itu, benar saja, Hot Wheels-ku ada di dalamnya. Penuh tanah, tapi masih utuh.

"Kinaaaaannnn!! Bocil boooollaaaang!!"
Aku melengking. Tapi si Ratu Ular Daun Jambu itu sudah lari ke pelukan Mami. Pura-pura jadi korban. Dan seperti biasa, pawangku langsung melotot. Mau marah? Gak jadi.

Potongan-potongan kecil yang tak pernah benar-benar hilang dari kepalaku. Seolah tertempel di sudut ingatan yang tak bisa dihapus.

Dan kini, gadis itu---Kinanti---berdiri di atas podium. Menerima penghargaan sebagai desainer muda berbakat tahun ini. Cahaya sorot menyinarinya, gaun pastel membingkai tubuhnya, dan rambut panjangnya kini tersisir rapi, tak lagi dikuncir kuda. Matanya tetap berbinar, tapi tak lagi mencari-cari bayanganku.

Aku hanya bisa memandangnya dari jauh.
Setelah empat belas tahun kami terpisah,
masihkah aku lelaki yang paling dia idolakan?

Masihkah aku lelaki yang dulu dia anggap tahu segalanya?

Kini, aku bahkan tak tahu...
Apakah aku masih pantas berharap dia melirikku---
meski hanya sebentar.

The Real Kinanti (sumber: Wira)
The Real Kinanti (sumber: Wira)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun