Waktu itu aku masih kelas enam SD. Om Edwin dan Tante Mitha berseri-seri seperti baru mendapat hadiah dari surga. Wajar saja, mereka sudah menanti kehadiran anak selama tiga belas tahun. Padahal mereka menikah lebih dulu dari Papi dan Mami, tapi justru aku yang lebih dulu lahir.
Mami dan Papi ikut bahagia. Dan sebagai bocah SD yang masih suka gelendotan sama Mami, aku ikut terseret dalam euforia mereka. Bayi mungil berkulit putih, pipi bulat menggemaskan, dan---ya ampun---rambutnya lebat sekali untuk ukuran bayi.
Sejak saat itu, Mami makin sering main ke rumah Om Edwin. Aku, yang masih senang ikut ke mana pun Mami pergi, jadi sering juga menggendong si bayi Kinanti. Hari berganti, bulan berlalu. Bayi cantik itu tumbuh jadi bocil bolang sejati. Hari-harinya habis menjelajah kebon, mencari belalang, menangkap ikan di kali, atau manjat pohon jambu di belakang rumah. Tangannya selalu kotor, pipinya selalu merah, rambutnya selalu kusut dikuncir kuda. Penampilannya lebih sering berantakan daripada rapi. Jika bukan karena ibunya yang selalu menjemputnya saat magrib, orang pasti akan mengira Kinan itu anak tukang kebun di rumahku.
Tapi satu hal yang selalu konsisten dari bocah itu: dia ngefans berat sama aku.
Setiap kali suara motorku terdengar dari ujung gang, Kinan langsung muncul seperti hantu kecil. Entah dari balik semak, balik pagar, atau dari sungai belakang. Kadang masih bawa cup plastik isi belut, kadang malah berlumuran lumpur dari kepala sampai kaki.
"Mas Raka! Mas Rakaaa! Mas Raka tau ular gak?!"
Dengan suara cempreng dan mata berbinar, dia lari ke arahku. Aku yang baru pulang sekolah, masih ngos-ngosan dan bau matahari, cuma bisa mendesah lelah.
"Gak tau!!" ucapku sekenanya, melengos masuk rumah. Tapi aku tahu, bocil itu pasti nginthil.
Benar saja. Lantai yang baru dipel Bibi Erna langsung penuh jejak kaki mungil dan basah.
"Mas Raka... tadi aku main ke rumah Cici. Ada ular jam masuk rumah! Besaaaar banget! Segede sapi!"
Aku refleks menoleh dengan ekspresi horor. "Ular jam??"