Mohon tunggu...
Dewi Ika
Dewi Ika Mohon Tunggu... -

Penyuka nasi goreng pedas sebelum jam 10 malam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ruang Tamu

17 April 2017   15:13 Diperbarui: 17 April 2017   15:31 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mata Ayah semakin merah, menatap wajah lemah Om Rusli menahan sakit dan wajah ketakutan Ibu yang tidak mampu berkata apa-apa. Aku bingung, kenapa Ayah tiba-tiba melakukan hal itu pada Om Rusli, Bukankah Ibu bilang bahwa Ayah dan Om Rusli saling kenal baik. Kini tangan Ayah gatal melihat vas bunga kaca warna biru di meja, tangannya meraih kemudian memecah bagian bawahnya sampai menimbulkan bekas runcing. Terseok penuh emosi ayah berjalan menuju arah Om Rusli yang sudah mulai bangkit, mengambil ancang-ancang kemudian Ayah mengarahkan vas bunga itu pada jantung Om Rusli. Belum sampai pecahan vas bunga itu mendarat pada tubuh Om Rusli, Ibu berlari menghalangi Ayah tepat di depan Om Rusli hingga pecahan vas bunga itu mengenai lengan kanan ibu.

“Lari mas… lari”, teriak ibu pada Om Rusli dan Om Rusli segera berlari ketakutan menyalakan mesin mobilnya dan berlalu dari rumah

 “Dasar, wanita tidak tahu diri”, bentak ayah kepada Ibu sampil mengayunkan tangan kirinya pada pipi merah ibu yang tadi sore baru saja dipoles dengan kosmetik.  Kemudian Ayah semakin keras berteriak kepada Ibu. Kawanan margasatwa tak berirama keluar dari mulut Ayah. Sementara Ibu, di sela tangis ketakutannya beberapa kali juga membentak ayah dengan kawanan margasatwa yang serupa dengan ayah. Aku mendekap tembok semakin takut melihat ayah dan ibu.  Aku menangis terisak, tapi keduanya tak mempedulikanku. Aku jadi semakin takut.

Pada detik-detik berikutnya untuk kesekian kali pada sore ini, tangan ayah dan ibu tak beraturan menyebabkan ruang tamu menjadi berantakan. Keduanya sama-sama terbungkus amarah yang mendalam.

“… dasar tukang parkir miskin”, begitulah sepenggal kata terakhir yang keluar dari mulut ibu, sebelum pada akhirnya tangan kanan kekar ayah menari keras dan mendarat pada sebelah pipi ibu yang belum terkena tamparan tadi. Kali ini lebih keras, sangat keras, sampai mulut ibu berdarah dan tubuhnya tersungkur di sudut ruangan, kepalanya mengenai bingkai foto besar, foto pernikahan ibu dan ayah sampai ia jatuh dan pecah kacanya, tepat di samping ibu.

Ayah mendekat berdiri di samping ibu yang terduduk penuh air mata. Ku kira ada yang ingin dilakukan lagi oleh Ayah kepada Ibu, namun Ayah justru menghantamkan kepalanya pada dinding beberapa kali sampai berdarah. Aku semakin takut, kruk ku terjatuh kedua-duanya, aku tersungkur di dekat pintu kamar penuh dengan tangis.

Suasana hening untuk beberapa saat, tanganku kini mendapati tempat pensilku. Silet warna biru membuatku terpaku menatapnya. Silet hadiah dari Ayah, sebagai pengganti dari rautan pensil Winnie the Pooh yang kuminta pada Ayah setahun lalu. Karena Ayah belum punya cukup uang, maka aku diberi silet ini. Aku pilu menatapnya lagi, dulu ketika sore itu Ayah memberikannya kepadaku, ibu yang duduk di sampingkulah yang pertama kali mengajariku bagaimana menggunakan silet itu. Dan sore itu selalu kuingat sebagai sore terhangat bersama ayah dan ibu.

Ku dengar lagi, kini irama keras perdebatan ayah dan ibu penuh aksen margasatwa yang jauh lebih kencang. Aku memejamkan mataku, merasakan dinginnya air mata yang membuat wajahku basah sejadi-jadinya. Aku membiarkan dia terus mengalir sambil menikmati sesak suara dari ruang tamu. Pelan, kemudian aku merasakan dengan jelas, silet biruku di tangan kanan, meraut nadi tangan kiriku dengan hening berpadu dengan irama keras tak beraturan dari ruang tamu. Dan kemudian gelap, aku tak lagi mendengar suara ibu dan ayah. Sama sekali.

Solo,  Mei 2013

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun