Mohon tunggu...
Dewi Ika
Dewi Ika Mohon Tunggu... -

Penyuka nasi goreng pedas sebelum jam 10 malam

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ruang Tamu

17 April 2017   15:13 Diperbarui: 17 April 2017   15:31 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Tapi ayahnya Rara pulang kerjanya tidak sampai malam seperti Ayah dan selalu libur setiap sabtu minggu, tapi sepatu Rara, tas Rara dan semuanya selalu jauh lebih bagus daripada punyanya Sekar kok, Yah.”

“Karena semuanya sudah diatur sama Allah, Nak. Itu bagiannya Ayahnya Rara dan Rara, dan ini bagiannya Sekar dan Ayah”

“Kok gitu, Yah? Berarti Allah nggak adil, dong”

“Allah itu adil kok, Sayang dan Allah memberi sesuatu itu bukan tanpa alasan. Apa yang sudah Allah kasih itu sudah pasti yang paling baik untuk kita. Itu pasti. Mungkin Allah pengen mendengar Ayah, Sekar, dan Ibu berdoa dan memohon yang lebih kepada  Allah lebih lagi. Allah ingin mendengar doa terindah, dari hamba-Nya sebelum Dia memberi yang dimohonkan oleh hamba-Nya”

“Oh begitu ya, Ayah”

“Iya sayang, makanya sekarang Sekar harus semakin rajin shalat dan berdoa, memohon sama Allah supaya dikasih yang paling baik yang bisa membuat kita bahagia dan diberi kemudahan menuntut ilmu supaya kalau udah besar nanti Sekar bisa jadi orang sukses dan tentunya harus rajin be-…”

“Belajar”, seruku. Lalu Ayah merengkuh tubuh kecilku dalam pelukannya dan aku selalu senang dengan bau keringat ayah setiap pulang bekerja. Aku bisa menemukan tulusnya kasih sayang ayah dalam setiap detiknya aku merasakan aroma khas itu. Aku bisa menyaksikan gambaran pengorbanan luar biasa juga pada baju oranye yang sudah semakin memudar warnanya dengan name tag ayah yang tercetak kokoh di sana, “Darmawan”.

Malam memang waktu yang paling indah, menantikan Ayah pulang kemudian merasakan hangatnya pelukan tubuh Ayah di tengah nafas letihnya. Aku selalu tak bisa terlelap dalam sebelum melihat Ayah pulang dan biasanya Ibu memang sudah terlelap sejak jam sembilan. Aku selalu menghabiskan waktuku menunggu Ayah pulang di ruang tamu, dengan membaca buku-buku yang kuperoleh dari Om Rusli, dari Ayah dan pinjaman dari Rara.

Beberapa minggu terakhir ini, aku berinisiatif menyiapkan the manis untuk menyambut Ayah pulang. Walaupun aku harus bersusah payah merengkuh toples gula pada meja yang terlalu tinggi bagiku dengan kruk kecilku, kemudian aku pasti menyisakan butir-butir gula yang berserakan yang selau coba kusembunyikan dari Ibu. Tapi semuanya terbayar lunas oleh senyuman hangat Ayah manakala menyeruput teh manis buatanku. Itulah hadiah paling manis di setiap penghujung malam yang mengantarkanku tidur di hangatnya pangkuan Ayah. Lalu paginya, ketika aku telah membuka mata, aku mendapati tubuhku tertidur di kamar dengan selimut tebal ayah dan Ayah telah berangkat bekerja lagi.

Aku tidak mengerti apa pekerjaan ayahku. Aku juga tidak mengerti apa bedanya pekerjaan Ayahku, Ayahnya Rara atau Ayah teman-teman lain. Aku hanya mengerti bahwa pekerjaan ayah adalah pekerjaan seorang ayah. Itu saja. Mereka bilang pekerjaan Ayahku adalah tukang parkir, tapi menurutku itu hanya sebutan orang saja, pekerjaan Ayahku adalah “pekerjaan ayah” sejatinya. Membuat aku dan ibu mencukupi apa yang dibutuhkan dan selalu merasa nyamana, seperti itulah pekerjaan Ayah.

Pulang lagi segala lamunku pada ruang tamu rumah sore ini. Kebetulan sekali, sabtu sore ini Ayah pulang lebih awal daripada biasanya, sebelum matahari terbenam. Lalu aku tidak mengerti apa yang terjadi, ketika aku yang sedang asyik membaca buku di lantai depan kamar, kemudian tersentak kaget ketika ayah berteriak “Kurang ajar…”, mendapati ibu sedang bersandar di bahu Om Rusli di depan televisi ruang tamu. Tangan kiri ayah langsung menarik kemeja Om Rusli dan tangan kanannya menghempaskan hantaman keras ke perut Om Rusli sampai keluar sedikit darah dari mulut Om Rusli dan kemudian Om Rusli tersungkur lemah di bawah televisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun