Mohon tunggu...
Deni Mildan
Deni Mildan Mohon Tunggu... Lainnya - Geologist

Geologist | Open Source Software Enthusiast | Menulis yang ringan-ringan saja. Sesekali membahas topik serius seputar ilmu kebumian | deni.mildan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hindari Toxic Positivity di Media Sosial

28 Juli 2021   10:18 Diperbarui: 28 Juli 2021   10:54 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media sosial memperparah toxic positivity (Foto oleh Gilles Lambert dari Unsplash)

Maksudnya memang baik, ia ingin membagikan semangat kepada pengguna sosial media lain untuk tetap berusaha sekuat tenaga. Akan tetapi di saat yang sama ia juga terlalu menitikberatkan kepada hal-hal positif namun mengabaikan emosi negatif seperti kesal, lelah, resah dan lain sebagainya yang ia rasakan.

Pengguna lain juga sering kali lupa bahwa media sosial adalah tempat orang membagikan momen-momen dan hal-hal terbaik dalam hidup mereka.Akhirnya pengguna melebih-lebihkan batas berpikir positif dan ikut mengabaikan perasaan negatif yang mereka rasakan.

Pengunggah mungkin merasa baik-baik saja dengan konten yang ia bagikan ke publik. Akan tetapi baik menurutnya bisa berarti toxic bagi orang lain.

Dr. Natalie Hendry dari School of Media and Communication RMIT University mengatakan media sosial adalah tempat berkembang biaknya toxic positivity, karena kehidupan yang sempurna dapat membuat kita merasa seperti kita harus bahagia sepanjang waktu. Perjuangan, rasa sakit, kebingungan, rasa bosan, kesusahan, semua hal yang manusiawi layaknya kegembiraan ditutupi oleh pesan yang terlalu positif.

Konten-konten "beracun" di media sosial juga menciptakan lingkaran setan yang sulit kita lepas darinya. Saat kita merasakan emosi negatif, kita biasanya akan membuka media sosial, berharap menemukan sesuatu yang dapat membuat kita melupakan perasaan negatif tersebut.

Begitu mendapatkan konten yang mengajak untuk berpikir positif, sesaat kita akan merasa tercerahkan. Kita melupakan emosi negatif kemudian melanjutkan hidup dengan penuh keceriaan.

Saat dihadapkan lagi pada kenyataan pahit, kita tidak mampu mengelola pikiran-pikiran negatif dengan baik. Kita tidak dapat menemukanbentuk ideal yang kita harapkan sebagai hasil dari berpikir positif.

Saat stres dan cemas datang, kita akan kembali lagi ke depan layar, menata media sosial. Kita lagi-lagi berharap menemukan sesuatu yang dapat membuat perasaan kita lebih baik. Sungguh menjebak.

Bagaimana cara menghindari toxic positivity di media sosial?

Karena media sosial dapat memperparah toxic positivity, solusi paling tepat adalah mengurangi pengunaannya.

Dilansir dari Kompas, menurut studi yang dilakukan We Are Social, sebuah perusahaan media di Inggris, orang Indonesia menghabiskan rata-rata 3 jam 14 menit sehari mengakses media sosial. Hasil ini menempatkan Indonesia dalam daftar 10 negara paling kecanduan media sosial dari 47 negara yang dianalisis.

Banyak juga rupanya waktu kita yang terbuang untuk media sosial ya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun