Mohon tunggu...
Deni Mildan
Deni Mildan Mohon Tunggu... Lainnya - Geologist

Geologist | Open Source Software Enthusiast | Menulis yang ringan-ringan saja. Sesekali membahas topik serius seputar ilmu kebumian | deni.mildan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hindari Toxic Positivity di Media Sosial

28 Juli 2021   10:18 Diperbarui: 28 Juli 2021   10:54 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media sosial memperparah toxic positivity (Foto oleh Gilles Lambert dari Unsplash)

Selama beberapa dekade, banyak buku dan media mempromosikan kekuatan dari berpikir positif terhadap kesehatan mental. Seperti yang diungkapkan dalam studi berjudul Mediating Effects of Positive Thinking and Social Support on Suicide Resilience dalam Western Journal of Nursing Research tahun 2018, berpikir positif yang didukung oleh lingkungan sosial yang baik dapat mengurangi kemungkinan seseorang bunuh diri.

Berpikir positif memang memiliki manfaat yang besar dalam kehidupan. Ia mampu membuat kita tetap tegak saat menghadapi berbagai masalah yang menimpa diri.

Meski begitu, kenyataannya kemampuan kita berpikir positif memiliki batas. Kita tidak dapat terus menerus mendorong diri untuk melihat suatu hal dari sisi baiknya saja. Luapan emosi negatif tidak bisa terus kita hindari.

Saat berpikir positif kebablasan, maka terjadilah toxic positivity.

Toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif. Jika bersikap positif dibarengi dengan menghindari emosi negatif, seperti sedih, marah, kecewa, dan lain sebagainya, hal ini justru dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental.

Sebelum istilah toxic positivity ini muncul, sebenarnya secara tidak sadar kita pernah mengalaminya atau bahkan menjadi pelakunya. Kalimat "Yuk, bisa yuk!" atau "Semangat bro, liat sisi baiknya" merupakan beberapa bentuk kalimat yang berpotensi menciptakan toxic positivity.

Dulu mungkin kita hanya mendengar kalimat-kalimat tersebut dari mulut teman atau orang-orang terdekat. Sekarang semangat yang malah menyengat tersebut bisa kita temukan dengan mudah di media sosial. Terlebih kita menghabiskan cukup banyak waktu untuk scrolling dan melihat berbagai macam unggahan.

Ya, media sosial menjadi salah satu sumber toxic positivity yang paling berpengaruh di era sekarang. Kita bisa menemukan berbagai macam konten, cuitan, dan video yang mendorong kita untuk tetap bersikap positif.

Misalnya saja, seseorang yang memulai bisnisnya dari nol membagikan pengalamannya di media sosial. Ia menunjukkan perjuangan yang pantang menyerah dan upayanya untuk menghindari pikiran-pikiran negatif dalam dirinya.

Tak lupa ia tambahkan caption motivatif. Ia ingin menularkan sikap positifnya kepada khalayak ramai.

Maksudnya memang baik, ia ingin membagikan semangat kepada pengguna sosial media lain untuk tetap berusaha sekuat tenaga. Akan tetapi di saat yang sama ia juga terlalu menitikberatkan kepada hal-hal positif namun mengabaikan emosi negatif seperti kesal, lelah, resah dan lain sebagainya yang ia rasakan.

Pengguna lain juga sering kali lupa bahwa media sosial adalah tempat orang membagikan momen-momen dan hal-hal terbaik dalam hidup mereka.Akhirnya pengguna melebih-lebihkan batas berpikir positif dan ikut mengabaikan perasaan negatif yang mereka rasakan.

Pengunggah mungkin merasa baik-baik saja dengan konten yang ia bagikan ke publik. Akan tetapi baik menurutnya bisa berarti toxic bagi orang lain.

Dr. Natalie Hendry dari School of Media and Communication RMIT University mengatakan media sosial adalah tempat berkembang biaknya toxic positivity, karena kehidupan yang sempurna dapat membuat kita merasa seperti kita harus bahagia sepanjang waktu. Perjuangan, rasa sakit, kebingungan, rasa bosan, kesusahan, semua hal yang manusiawi layaknya kegembiraan ditutupi oleh pesan yang terlalu positif.

Konten-konten "beracun" di media sosial juga menciptakan lingkaran setan yang sulit kita lepas darinya. Saat kita merasakan emosi negatif, kita biasanya akan membuka media sosial, berharap menemukan sesuatu yang dapat membuat kita melupakan perasaan negatif tersebut.

Begitu mendapatkan konten yang mengajak untuk berpikir positif, sesaat kita akan merasa tercerahkan. Kita melupakan emosi negatif kemudian melanjutkan hidup dengan penuh keceriaan.

Saat dihadapkan lagi pada kenyataan pahit, kita tidak mampu mengelola pikiran-pikiran negatif dengan baik. Kita tidak dapat menemukanbentuk ideal yang kita harapkan sebagai hasil dari berpikir positif.

Saat stres dan cemas datang, kita akan kembali lagi ke depan layar, menata media sosial. Kita lagi-lagi berharap menemukan sesuatu yang dapat membuat perasaan kita lebih baik. Sungguh menjebak.

Bagaimana cara menghindari toxic positivity di media sosial?

Karena media sosial dapat memperparah toxic positivity, solusi paling tepat adalah mengurangi pengunaannya.

Dilansir dari Kompas, menurut studi yang dilakukan We Are Social, sebuah perusahaan media di Inggris, orang Indonesia menghabiskan rata-rata 3 jam 14 menit sehari mengakses media sosial. Hasil ini menempatkan Indonesia dalam daftar 10 negara paling kecanduan media sosial dari 47 negara yang dianalisis.

Banyak juga rupanya waktu kita yang terbuang untuk media sosial ya.

Kita bisa mengalokasikan waktu yang semula terbuang di media sosial untuk melakukan hal-hal produktif, misalnya mengasah kemampuan baru, menulis, dan lain-lain. Lakukan kegiatan apapun yang dapat membuat kita merasa bahagia.

Kamu juga bisa memanfaatkan waktu dengan melakukan meditasi. Selain bermanfaat untuk menenangkan pikiran yang sedang kalut, meditasi juga dapat menjadi media untuk berdialog dengan diri sendiri. Hal ini akan membantu kita merasakan dan mengelola emosi negatif dengan baik.

Jika emosi negatif terlalu sulit untuk diatasi sendiri, kita bisa mengandalkan bantuan orang lain. Ceritakan dan ungkapkan keluh kesah kepada orang terdekat yang bisa dipercaya. Yang terpenting pastikan ia adalah pendengar yang baik dan mengerti bahwa kita butuh empati, bukan cuma kalimat motivasi.

Referensi: satu dua tiga empat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun