Ah, hanya mimpi. Karena semua itu tidak akan mudah untuk memberikan kepastian cinta yang terlarang.
Ponsel itu menjadi lambaian untuk bisa terus bercakap-cakap dengan Rina. Getaran asmara menjadikan aku seperti melupakan makna dari sebuah puisi yang terpajang di kamarku.
"Aku mengerti perasaanmu. Aku hanya menganggapmu teman karena aku sangat mencintai Rendi."
"Maaf" aku leleh dalam lamunan.
"Aku juga mengerti. Aku hanya mengutarakan isi hatiku dan tidak mungkin aku merampasmu dari pelukan sahabatku sendiri." Kebijakanku.
Sudah beberapa hari aku tidak bertemu dengan Rendi. Dan bahkan Rendi tidak masuk kuliah. Mungkin semenjak peristiwa itu Rendi belum balik lagi ke Jakarta. Apa yang mesti aku lakukan? Apa aku sudah membopong kesalahan atas pelanggaranku terhadap norma persahabatan?
***
Siang bolong yang melompong. Duduk di kamar yang memampang bayangan wajah Rina. Aku pun dikejutkan dengan kedatangan Rendi.
"Fan, maafin aku."
Untuk kesekian kalinya sahabatku ingin menunjukkan rasa bersalahnya. Apa mesti aku melangkah dengan guyonan, canda tawa, atau bahakan saling membuka cerita bak buku harian. Sebenarnya aku tak perlu bersikap tidak adil terhadap Rendi. Dia tidak salah. Tindakannya hanya ingin membuat aku bahagia.Â
Cucuran pembiasan matahari menjadi hiasan di hari yang terik itu. Aku menemukan cara untuk meluruskan pembiasan itu. Bahkan akan aku pantulkan masalahku ini menjadi cahaya yang sempurna dalam kisah persahabatanku.