"Untuk apa? Agar kalian tidak berdosa."
      Binatang kecil itu pun ikut berbaring di dekatku sambil mulutnya menyebut nama ayat itu. Mereka kelelahan. Dan aku menyuruhnya untuk menghisap darahku. Kesegaran mengikuti mereka pergi tanpa beban dosa.
      Seandainya orang-orang seperti binatang kecil itu, mungkin malaikat Rakib pun tidak akan banyak menghabiskan kertas putih untuk menuliskan semua dosa-dosa manusia. Dengan berpena hitam. Dengan urutan nomor ke triliyun-an melebihi kapasitas uang yang telah di korupsi oleh para pejabat. Dan ayat itu menjadi nama yang terkenal dari pada nama orang yang diidolakannya. Kemudian aku memindahkan kembali jari-jariku yang sebelah kiri untuk bisa dilekukkan.
      Sembari menikmati rasukan malam, aku menengok ke arah bawah, atas, kiri, dan kanan, bahkan belakang. Sepertinya segerombolan orang telah mendatangi rumahku. Dan menganggakat rumahku. Gerombongan itu mendekatiku ketika adzan shubuh telah memanggilku. Apa aku akan menjadi sasaran kejahatannya? Mengapa harus datang pada saat aku menghitung dosa yang belum selesai? Rumahku tidak ada hartanya. Aku hanya memiliki sebuah televisi yang tidak patut untuk diambil.
      Tetapi mereka mendekati rumahku dan menggoyang-goyangkannya. Mereka begitu kuatnya.Â
"Mereka utusan Tuhan atau ayat itu?" bisikku.
Tetapi orang-orang berteriak keluar rumah mereka masing-masing. Ini bukan pencurian. Ini bencana. Aku harus meninggalkan ayat itu sendirian.
"Sudah cukup. Badar, larilah!"
"Kau menyebut namaku tidak akan cukup untuk diberikan pada orang-orang yang keluyuran di malam hari seperti yang kau inginkan. Tuhan sedang menyadarkan mereka."
Aku melompati jendela yang berada di kamarku untuk memasuki rumahku. Kemudian aku  keluar dari rumahku. Teriakan tetanggaku semakin kencang. Mereka berhamburan mencari keselamatan. Aku pun mengikutinya. Dinding rumahku sudah mulai retak. Gentingnya berjatuhan. Atapnya roboh. Tempat yang semalam aku jadikan sorga dunia telah mulai mengikuti genting-genting yang lainnya. Orang-orang seperti kehilangan induknya. Mereka tidak mengenali jalan-jalan yang biasa mereka lewati pada siang hari. Karena keretakan itu mulai menjalar di sepanjang jalan.
"Berdzikirlah. Berdzikirlah!!" teriak salah satu orang di antaranya.