Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cahaya Pembias Dosa

15 September 2021   13:15 Diperbarui: 15 September 2021   13:26 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semua orang tersadar akan kehilangan Tuhannya. Entah ayat apa yang mereka teriakkan, tetapi intinya bukan ayat yang semalam aku agung-agungkan.

Aku pun turut menyebut kata itu. Dan mengganti nama yang semalam aku sebutkan beratus-ratus kali.

Berlarian menuju berpuluh arah yang dianggapnya aman dari bencana itu. Jatuh bangun mereka menyelamatkan diri. Darah bersimbah di mana-mana. Anak kecil menangis. Orang lansia tergopoh-gopoh. Aku hanya bisa menyebut nama itu untuk mewakili saudara-saudaraku.

***

"Di mana cahaya itu? Di mana ayat itu?"

Kejadian itu persis seperti namaku. Badar. Perang Badar. Di saat nabi besar umat Islam melawan musuhnya. Tetapi perbedaannya musuh yang sekarang bukan manusia melainkan dosa. Dosa atau alam. Tubuh mereka menjantang dari kehidupan. Aku pun kehilangan cahaya itu. Ayat itu pun tidak menghampiriku. Tidak membawaku naik menemui Tuhan.

Akhirnya, aku mendekap di sebuah lorong untuk para korban bencana itu. Mata mereka membusungkan air mata yang sudah melembabkan wajahnya.  Nama ayat itu pun hilang dari ucapan mereka. Mereka hanya merinitih dengan sesak tangis. Mengobrak-abrik puing-puing di tempat mereka tinggal. Mencari sanak saudara. Mencari sesuatu yang bisa dimakan. Atau mencari dedaunan untuk dijadikan obat penahan rasa sakit.

"Di mana cahaya itu?"

"Aku telah berdosa lagi."

***

Pagi harinya cahaya itu datang dengan bunyi yang menakutkan.  Tidak berhenti. Telingaku menjadi donatur seribu suara. Orang-orang membawa mayat-mayat itu dengan dua batang kayu terikat tali. Cahaya itu datang pula untuk menguasai bumi. Koran dan kain lusuh menjadi kafan pembungkus dosa. Lalu, penggali kubur menggali tanah untuk mengubur dirinya sendiri. Hanya saja mereka mau menghitung dosa mereka sendiri dan menyebut nama ayat itu, mungkin peristiwa ini tidak akan terjadi. Aku menyesali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun